Sebelum sampai di panggung utama, sambil menunggu teman, Nana membetulkan jilbabnya, Bambang memotret sunset.
“Saat aku memotret sunset, tiba-tiba bumi berguncang keras. Semua orang teriak gempa. Aku jatuh bangun, berusaha berdiri tapi tetap terpental. Sangat susah lari dan melangkah di pantai berpasir tebal, hingga sendalku hilang,” katanya.
Bambang masih mendengar teman-temannya memanggil agar ia cepat lari.
“Aku juga masih sempat melihat kuda di sebelahku terpelanting. Aku melihat bumi seperti mengocok laut. Semua panggung roboh seketika,” kisahnya.
Baca Juga: Festival Pesona Raja Ampat 2018 Jadi Incaran Turis Mancanegara
Saat kakinya bisa keluar pasir, Bambang mencoba berlari. Namun, tetap saja ia harus jatuh bangun. Air pun sudah meninggi dan mulai menyebrang jalan dan mengejarnya.
“Aku jatuh bangun dalam air, dan sempat berdiri di balik pohon bambu kecil. Lalu aku pindah ke balik rumah dan berpegangan di pintu gerbang besi. Aku melihat air selain mengejarku dari kanan belakang, ternyata juga datang dari arah kiri. Aku tidak mampu lagi berlari. Aku hanya mampu berpegangan pagar sambil berteriak, ‘Ya Allah, Astaghafirullahal aziem, Ya Allah, ampuni aku!" tuturnya.
Tak lama, air sudah merendam setinggi dada. Air cepat surut hingga turun di atas tumit, atau sekitar 30 cm dari tanah. Namun, Bambang sudah tertinggal jauh dengan teman-temannya. Untuk bertahan, Bambang berusaha mencari tempat tinggi.
Dekat situ, ia lihat ada bangunan yang sedang dibongkar. Bambang pun berusaha naik ke puing-puing tangga, namun tangganya sudah hancur,
“Aku balik ke bagian depan bangunan, karena kulihat beberapa orang turun dari situ. Tapi ternyata aku tidak bisa naik, karena kakiku lemas dan bangunan yang akan ku panjat, lantai atasnya sudah tak ada,” kenangnya.
Baca Juga: Tinjau Persiapan Festival Fulan Fehan, 1.500 Penari Sambut Menpar
Saat sedang kebingungan, ia mendengar ibu-ibu minta tolong. Ia terjepit pepohonan. Ada juga ibu-ibu yang kakinya patah. Bambang sempat bertanya jalan keluar dari situ.