Suara.com - Petobo, tak banyak yang mengenal nama salah satu kelurahan di Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, tersebut. Namun, gempa dan tsunami mengubah semuanya. Petobo lenyap ditelan Bumi, bersama ribuan kenangan di dalamnya.
SEJAK gempa dahsyat berkekuatan 7,4 Skala Richter di Kabupaten Donggala dan gelombang tsunami yang menerjang Kota Palu, pada Jumat (28/9) lalu, Petobo selalu disebut-sebut dalam berbagai pemberitaan dan menjadi perbincangan publik.
Ya, karena di Kelurahan Petobo yang padat penduduk menjadi salah satu lokasi parah terdampak gempa. Masih banyak korban, kecil kemungkinan masih hidup, setelah lebih dari sepekan sejak gempa, yang belum terevakuasi dari Petobo.
Belum lagi akses ke Petobo setelah gempa menjadi sulit untuk dijangkau.
Baca Juga: Diduga Makan Mayat Korban Gempa Sulteng, Warga Takut Konsumi Ikan
Sebelum gempa, secara geografis, Kelurahan Petobo, salah satu dari 46 kelurahan di Kota Palu, dengan luas wilayah mencapai 1.040 hektare, berbatasan langsung dengan Kabupaten Sigi di arah selatan dan timur.
Sebelah barat, Petobo berbatasan dengan Kelurahan Birobuli Selatan, dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Birobuli Utara.
Sebagian wilayah Petobo masuk dalam kawasan Bandara Mutiara SIS Al Jufri.
Petobo berpenduduk sekitar 13 ribu jiwa dan dihuni oleh etnis asli Kaili Ledo, yang telah lama berbaur dengan etnis pendatang dari Bugis, Jawa, Bali, dan etnis lainnya.
Topografi Petobo merupakan lembah sehingga dikenal dengan wilayah Petobo Atas (Ranjule) dan Petobo Bawah (Mpanau). Masyarakatnya hidup rukun dan damai.
Baca Juga: Hasil F1 GP Jepang: Lewis Hamilton Tak Terbendung di Suzuka
Sebagian penduduknya merupakan petani, pedagang, selain pegawai negeri sipil dan swasta, serta TNI/Polri.
Singkat kata, penduduk dan Petobo memiliki kehidupan keseharian, sebagaimana kelurahan-kelurahan di wilayah lainnya.
Mengerikan
Pada Jumat (28/9) petang, kondisi jalan begitu ramai, hiruk pikuk kendaraan lalu lalang meilintas di Jalan HM Soeharto yang menghubungkan Desa Ngata Baru, Kabupaten Sigi.
Ada sebagian pulang dari tempat kerja mereka, ada yang di rumah, dan ada pula menuju masjid menunaikan salat Maghrib.
Akan tetapi, suasana yang tadinya ramai dan terasa normal saja, seketika berubah menjadi situasi yang mengerikan.
Penduduk berhamburan setelah bumi terasa berguncang keras, bangunan-bangunan runtuh akibat gempa tersebut.
Gempa berdurasi delapan detik itu seketika mengeluarkan air bercampur lumpur dari perut bumi hingga terjadi gelombang lumpur.
Penduduk limbung, bangunan runtuh, bahkan bergerak dengan sendirinya mengikuti pergerakan tanah bercampur lumpur yang berguncang akibat gempa.
Jalan beraspal patah dan mengerucut, ada pula yang hanyut terseret pergerakan tanah hingga puluhan, bahkan seratusan meter.
Hajali Tenggo (71 tahun), salah satu warga di Petobo Atas yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan, saat itu dia berada dalam kamar tidurnya mempersiapkan diri untuk menunaikan salat Maggrib di masjid, yang berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya.
Hajali yang sudah ditinggal istrinya karena meninggal dunia, memiliki lima orang anak, yakni Fatrini, Ijan, Mubarak, Fadli, dan si bungsu Rika Wahyuni.
Dalam rumahnya, Hajali tinggal bersama Fatrini dan Rika. Pada rumah itu juga tinggal seorang perempuan bernama Mira, yang merupakan teman Patrini.
Fadli tinggal bersama istrinya, Mira Khairunissa, di sebelah rumah Hajali. Fadli dan Khairunissa telah dikarunia dua anak, Bintang dan Yeyen.
Sementara Mubarak dan Ijan tinggal di rumah mereka masing-masing dengan lokasi berjauhan, meskipun masih dalam satu kelurahan.
Hajali dan para penghuni di rumahnya sontak ke luar rumah. Karena guncangan keras, Hajali terpental dan terombang-ambing ke kiri dan kanan sambil berusaha menyelamatkan diri.
Ia berhasil keluar melewati pintu belakang dan menyelamatkan diri.
Nahas bagi Rika dan Khairunissa. Mereka tak mampu menyelamatkan diri. Anak kandung dan anak menantu Hajali itu meninggal dunia di tempat setelah terendam air dan lumpur yang bergolak hingga menutupi seluruh tubuhnya.
"Saat itu kami terpisah, anak dan cucuku sudah di depan jalan sedangkan saya di samping rumah. Anak bungsu dan anak mantu saya berdiri di antara dua rumah yang baru dibangun," katanya Hajali pilu.
Hajali terus berusaha mencari tambatan untuk berpegangan agar dia tidak terpental akibat guncangan. Ia mendekap erat batang pohon belimbing.
Karena merasa tak aman, Hajali berupaya mencari tempat lebih aman namun justru terpental lagi persis di samping dinding rumah tetangganya.
Rumah tetangganya itu bergerak mengikuti pergerakan tanah hingga membuat kaki kirinya terjepit bungunan rumah.
Hajali berusaha sekuat tenaga naik ke atas atap rumah papannya yang sudah roboh, saat itu kondisi rumah berdinding papan tempat tinggalnya sudah roboh.
Hajali menyaksikan anak dan cucunya bertahan tepat di bawah pohon mangga sambil memagang ranting pohon tersebut.
Dia menyaksikan pula Rika dan Khairunissa terjebak di dalam lumpur.
"Papa tolong saya, 'ta jepit' (terjepit) saya," begitu suara Rika meminta bantuan kepada Hajali. Mereka berjarak sekitar enam meter.
Namun Hajali tak kuasa menolong anak bungsu dan anak menantunya itu. Gelombang lumpur datang lagi, Rika tak bergerak karena terjepit dan tertimbun lumpur sedangkan Khairunissa tenggelam.
Hajali berusaha keras menyelamatkan Rika dari timbunan lumpur. Ia menggali lumpur dengan tangannya tetapi tak kuasa.
Saat situasi mulai tenang, dia meminta bantuan ke Fadli. Namun upaya tersebut tak membuahkan hasil.
Air bercampur lumpur semakin tinggi hingga menutup sebagian wajah Rika.
Mereka terus berjuang menguras air menggunakan tangan, Hajali menaruh kayu tepat di bawah dagu Rika agar wajahnya terdongak namun air bercampur lumpur lebih cepat menutupi wajah Rika.
Dengan kesulitan bernafas, Rika sempat meminta Hajali untuk menuntun ucapan dua kalimat syahadat saat merasakan sakaratul maut serta memohon ampunan.
"Rika juga sempat meminta maaf kepada saya dan kakak-kakaknya sebelum ia meninggal dunia," kata Hajali dengan air mata berlinang.
Rika Wahyuni pergi, meninggal dunia, menyusul Mira Khairunissa.
Menusuk tulang
Hajali merasa sangat terpukul atas peristiwa itu, namun dia terus menguatkan hatinya agar bisa bangkit.
Malam semakin mencekam, Hajali bersama anak dan cucunya kembali ke atas-atap rumah mengharap ada pertolongan.
Kejadian bencana itu begitu cepat, gelombang tanah disertai lumpur kurang dari lima menit hingga meluluhlantakkan semua bangunan maupun pepohonan hingga puing-puing rumah mereka hanyut ratusan meter.
Mereka tak lagi berada di posisi awal mereka yang berada di rumah.
Dalam kegelapan, mereka bertahan hanya menggunakan baju di badan, angin bertiup kencang hingga menusuk ke tulang rasa dingin pun semakin memuncak. Belum lagi pakaian di badan semuanya basah kuyup.
Tak berselang lama, ada rumah terbakar yang hanyut tepat di hadapan mereka, menuju arah anaknya Rika yang sudah meninggal.
Tiba-tiba ember kecil berwarna hitam hanyut tepat disamping mereka. Hajali langsung meraih ember untuk diisi air dan memadamkan api. "Ternyata dalam ember itu ada air bersih," katanya.
Ia tak jadi memadamkan api dengan air itu. Air dalam ember itu dia simpan.
Rumah terbakar yang hanyut itu tak membakar jenazah Rika, melainkan hanya lewat di depannya.
Selama bertahan di atas atap rumah, Hajali bersama anggota keluarganya hanya mengonsumsi air yang didapatinya itu tanpa makanan lainya.
Hingga keesokan harinya, sekitar pukul 05,30 Wita, mereka berusaha keluar dari lokasi tersebut mencari tempat lebih aman.
Mereka melewati kubangan air hampir setinggi dada orang dewasa menuju arah utara, dengan kaki terluka.
Hajali terus berjalan sambil menusuk-nusuk tanah yang landai untuk pijakan kaki.
Untuk mencapai tanah kering yang relatif aman dan hanya kurang lebih berjarak 500 meter, Hajali harus melewati lumpur hingga tiga jam lamanya.
Kondisi lingkungan mereka rusak parah.
"Pokoknya semua hancur berantakan. Tanah terbelah, jalan aspal mengerucut setinggi setengah meter, padahal secara logika jarak 500 meter itu tidak lebih lima menit kita berjalan kaki," ucapnya.
Diperkirakan, ribuan manusia masih terkubur materil lumpur di Petobo. Harta benda pun hilang tak berbekas.
Kampung di kelurahan itu seperti ditelan bumi.