Suara.com - Nadia Murad berhasil selamat dari salah satu kekejian paling mengerikan di dunia ketika ia, perempuan dari kelompok minoritas Yazidi, Irak, dijadikan budak seks oleh teroris ISIS dan pada Jumat (5/10/2018) dinobatkan sebagai salah satu pemenang Nobel Perdamaian 2018.
Murad bersama Dokter Denis Mukwege asal Kongo diumumkan sebagai penerima Nobel Perdamaian 2018 berkat upaya-upaya mereka menghentikan penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata dalam perang.
Perempuan 25 tahun itu, demikian diwartakan AFP, menjadi orang Irak pertama dalam sejarah yang memenangkan Nobel Perdamaian.
Empat tahun lalu, tepatnya 15 Agustus 2014, desanya di Pegunungan Sinjar, dataran tinggi di utara Irak, diserbu oleh para teroris ISIS. Seketika itu nasib Nadia berubah.
Nadia dan seisi Desa Kocho diperintahkan untuk berkumpul di sebuah sekolah. Lelaki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Pada hari itu juga sebanyak 312 lelaki dibunuh. Belakangan di sekitar desa itu juga ditemukan makam berisi jenazah 80 perempuan tua.
Derita Budak Seks ISIS
Anak-anak diculik untuk dijadikan petempur. Sementara Nadia dan teman-temannya dibawa secara paksa ke Mosul, ibu kota de facto ISIS, dan dijadikan budak seks.
Kepada Time, Nadia bercerita panjang tentang penderitaannya.
Nadia mengenang, setelah tiga hari disekap di Mosul, ia dan perempuan lainnya "dibagikan" kepada para anggota ISIS sebagai budak. Ia ingat beberapa perempuan sengaja merusak rambut mereka agar tak dilirik oleh para anggota ISIS. Sebagian lagi mengoles wajah mereka dengan arang baterai.
"Itu semua tak membantu, karena pada pagi harinya mereka meminta kami untuk membasuh wajah agar kelihatan cantik," cerita Nadia.
Beberapa perempuan Yazidi bahkan lebih ekstrem lagi. Ada yang bunuh diri dengan cara mengiris nadi dan ada yang melompat dari jembatan.
Di rumah tempat Nadia disekap, di sebuah kamar di lantai dua, ditemukan banyak bekas kekejian.
"Banyak darah dan di dinding ada cap tangan dari darah," kata dia. Di sana ada dua orang perempuan Yazidi yang bunuh diri.
Nadia sendiri tak berpikir untuk bunuh diri. Ia berharap para teroris itu yang membunuhnya.
"Saya tak ingin bunuh diri, tetapi saya ingin mereka membunuh saya," ujar dia.
Setiap pagi di Mosul, para perempuan Yazidi diperintahkan untuk mandi. Mereka lalu dibawa ke pengadilan syariah dan di sana mereka difoto. Setelahnya foto-foto itu dipajang di dinding pengadilan, lengkap dengan nomor telepon para teroris yang menjadi pemilik mereka.
Pada satu hari, giliran Nadia dibawa ke pengadilan syariah. Di sana ia duduk di dalam sebuah ruangan bersama perempuan lain. Ia mengenakan jaket merah jambu. Lalu seorang anggota ISIS datang ke arahnya.
"Dia bilang, 'Perempuan berjaket merah jambu, berdiri'," kenang Nadia.
"Ketika saya mengangkat wajah dan melihat dia, lelaki itu sungguh besar. Saya berteriak-teriak," lanjut dia.
Lelaki itu, ia masih ingat, sangat besar. Rambut dan jenggotnya sangat panjang. Ketika itu Nadia duduk bersama tiga keponakannya dan mereka saling berpelukan erat ketika lelaki itu menyeret dia.
Ketika sedang bergulat dengan lelaki raksasa itu, ia melihat seorang lelaki lain yang bertubuh lebih kecil. Nadia langsung meringkuk di kaki lelaki itu dan meminta tolong.
"Saya memohon kepadanya, 'Bebaskan saya dari penjara besar ini, bawa saya dan saya akan melakukan apa saja yang kamu inginkan'," Nadia bercerita.
Lelaki kurus itu, yang juga anggota ISIS, lalu membawanya pergi. Lelaki itu juga berambut panjang, tetapi jenggotnya lebih pendek. Lelaki itu menyekap Nadia di dalam sebuah kamar dengan dua pintu. Ia salat lima kali sehari. Ia memiliki seorang istri dan seorang puteri bernama Sara.
"Satu hari dia memaksa saya mengenakan make up, saya menurutinya dan di malam jahanam itu, dia melakukannya," kenang Nadia.
Nadia pernah mencoba kabur dari pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan lelaki itu, tetapi ia tertangkap.
"Ia kemudian memukuli saya, melucuti pakaian saya, dan memindahkan saya di dalam sebuah kamar bersama enam lelaki lain. Mereka melakukan kejahatan bertubi-tubi terhadap tubuh saya sampai saya tak sadarkan diri," beber Nadia.
Nadia ingat betul tak seorang pun dari para lelaki itu yang menunjukkan penyesalan atas apa yang mereka lakukan padanya. Ketika salah satu penyiksanya ditanya, apakah Nadia istrinya, ia menjawab dengan lantang.
"Ini bukan istri saya, dia adalah sabia saya, dia adalah budak saya," kenang Nadia, sembari mengingat bagaimana lelaki itu menembakkan senjatanya ke langit tanda suka cita.
Berhasil Kabur
Nadia berhasil kabur pada November 2014, ketika salah satu penyekapnya lupa mengunci pintu rumah. Dibantu oleh sebuah keluarga Muslim, ia kemudian berhasil meloloskan diri dan berlindung di sebuah kamp pengungsian Yazidi di wilayah Kurdistan.
Di kamp pengungsian itu dia dikabari bahwa enam saudara dan ibunya sudah tewas dibunuh ISIS.
Dengan bantuan sebuah organisasi kemanusiaan yang membantu orang-orang Yazidi, ia mengungsi ke Jerman. Di sana ia mulai mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan kelompok minoritas Yazidi dan para perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Nadia, karena perjuangannya, lalu diangkat sebagai Duta Besar Perdamaian PBB untuk para penyintas perdagangan manusia. Pada 2017 ia menerbitkan buku berjudul "The Last Girl" dan pada tahun yang sama Dewan Keamanan PBB mengumumkan komitmen untuk membantu Irak mengumpulkan bukti-bukti kejahatan kemanusiaan ISIS.
Sebelum 2014, jumlah komunitas Yazidi di Irak sekitar 550.000 jiwa. Kini sudah 100.000 orang Yazidi meninggalkan Irak ribuan lainnya masih bertahan di wilayah Kurdistan.
Pada Agustus kemarin Nadia mengumumkan telah bertunangan dengan rekan sesama aktivis Yazidi bernama Abid Shamdeen.
"Perjuangan untuk rakyat kami telah menyatukan kami dan kami akan terus berjuang bersama," tulis Nadia.