Suara.com - Sabtu (29/9/2018), hari pertama menginjakkan kaki di Kota Palu yang luluh lantak pasca digoyang gempa dan diterjang tsunami, Jumat (28/10/2018). Reporter Suara.com Muhammad Yasir meliput ke Kota Palu dan merasakan di sana serba sulit.
Sulit mencari makan, tidak ada lokasi bermalam untuk tidur, buruknya sinyal ponsel, hingga ketakutan meraskaan gempa susulan.
Siang itu sekitar pukul 14.10 WITA, saya bersama jurnalis lain dari Jakarta, tiba di Bandara Mutiara Sis Al-Jufrie, Sulawesi Tengah bersama romobangn TNI AU dari Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Sekitar pukul 15.20 WITA saya bertolak ke Pantai Talise, titik lokasi yang sangat parah diterjang tsunami Palu.
Keadaan kota yang masih lumpuh tak ada sinyal, listrik padam, dan sulitnya BBM memaksa kami harus berjalan kaki dari Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Tengah menuju Pantai Talise. Jaraknya sekitar 5 kilometer. Di sepanjang jalan kami melihat reruntuhan bangunan dan jalan retak akibat gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR).
Baca Juga: JK Target Pemulihan Pasca Bencana Gempa Sulteng 2 Tahun
Rasa lapar dan dahaga di bawah teriknya panas matahari di Kota Palu membuat kami lemas. Hanya berbekal satu botol air sisa yang di bawa dari Jakarta membuat kami harus ekstra hemat untuk minum. Tidak satu pun warung yang beroperasi pasca gempa dan tsunami.
Semua aktivitas kota lumpuh total, layaknya kota mati.
Di tengah perjalanan kami menuju Pantai Talise, sejenak kami terdiam menghentikan langkah kaki kami karna terkejut saat merasakan gempa susulan untuk pertama kali yang kami rasakan di Kota Palu.
Meski tak lama, hanya hitungan detik saja gempa tersebut cukup menimbulkan perasaan takut dalam hati, terlebih mengingat sehari sebelumnya baru saja terjadi gempa dan tsunami.
Kami pun tiba di Pantai Talise sekitar pukul 17.00 WITA. Pertama kali melihat lokasi kejadaian di sana yang terbayangkan ialah seberapa besarnya glombang tsunami sampai memporak-porandakan bangunan di pesisir pantai itu.
Baca Juga: Jakarta Diancam Gempa Merusak, Anies akan Bertemu BMKG
Pantai Talise sendiri merupakan titik lokasi bencana yang cukup parah menelan banyak korban. Pasalnya saat kejadian tsunami tiba di Pantai Talise sedang diadakan Festival Pesona Palu Namoni (FPNM).
Salah satu bangunan yang turut hancur diterpa gempa dan tsunami yakni Jembatan Palu IV Panulele atau lebih kenal dengan Jembatan Kuning yang menjadi salah satu ikon Kota Palu yang terketak tak jauh dari Pantai Talise.
Jembatan Kuning yang menghubungkan Palu Timur dan Palu Barat itu terputus akibat terguncang dan tergulung oleh hempasan gelombang tsunami.
Ditengah peliputan kami di Pantai Talise, tiba-tiba gempa susulan kembali terjadi. Langit semakin gelap memkasa kami bertolak kembali ke Rumah Dinas Gubernur karena khawatir melihat deburan ombak dan angin yang semakin kencang serta adanya gempa susulan.
Beruntung, kami mendapat tumpangan mobil pick up milik Kominfo. Di sepanjang perjalanan pulang kami membayangkan Kota Palu selayaknya kota mati. Tidak ada penerangan jalan, semua gelap hanya ada penerangan dari kendaraan yang kami tumpangi.
Sekitar pukul 19.30 WITA akhirnya kami tiba di Rumah Dinas Gubernur. Setibanya disana kami bergegas menulis naskah berita untuk segera dikirim ke kantor melalui SMS karena jaringan terputus akibat gempa dan tsunami.
Kami bermalam di sana dengan memanfaatkan halaman gedung untuk tidur dengan beralaskan rumput dan beratapkan langit. Pasalnya sebagian orang masih takut untuk bermukim di dalam ruang gedung mengingat masih sering terjadinya gempa susulan.
Baru sepejaman mata, lagi-lagi gempa susulan terjadi membangunkan dari tidur. Kendati begitu, setidaknya kamu mulai terbiasa dan akhirnya kembali melanjutkan tidur.
KOPI SUARA adalah kisah dan cerita di balik jurnalis kami mereportase berbagai peristiwa di seluruh nusantara dan belahan dunia.