Suara.com - JPU KPK membeberkan sejumlah pertemuan Setya Novanto, Eni Maulani Saragih dengan Direktur PT PLN Sofyan Basir yang diduga untuk memuluskan proyek PLTU Riau-1 dikelola perusahaan Blackgold Natural Resource.
Pertemuan itu terjadi saat Setnov masih menjadi Ketua DPR, sementara Eni adalah Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. Kekinian, Eni sudah menjadi tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus ini.
Hal tersebut terungkap saat persidangan pembacaan dakwaan terhadap Johannes B Kotjo dalam proyek suap proyek PLTU Riau-1, yang dihelat di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Jaksa KPK Ronald Worotikan menyebut, Eni kali pertama diperkenalkan kepada terdakwa Kotjo oleh Ketua DPR Setya Novanto pada tahun 2016. Eni kala itu diminta untuk mengawal proyek PLTU Riau-1 oleh Setnov.
Baca Juga: Lucunya Kelas Bertema Hello Kitty di Filipina
"Setnov menyampaikan kepada Eni Saragih agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU Riau-1. Untuk itu, Kotjo memberikan imbalan, yang kemudian disanggupi Eni,” kata Ronald dalam sidang.
Masih pada tahun 2016, Eni mengajak Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso, untuk menemui Setnov di rumah pribadinya.
"Dalam pertemuan itu, Setnov meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir. Namun Sofyan menjawab pemenang proyek PLTGU sudah ada kandidat, tapi untuk pembangunan PLTU Riau-1 belum ada kandidatnya," ujar Ronald.
Kemudian, pada awal tahun 2017, Eni memperkenalkan Kotjo dengan Dirut PT PLN Sofyan Basir di Kantor Pusat PT PLN, dalam membahas Proyek PLTU Riau agar bisa dikerjakan Blackgold.
Eni memperkenalkan Kotjo sebagai pengusaha tambang saat bertemu Sofyan. Selanjutnya, Sofyan Basir meminta agar penawaran diserahkan dan dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso yang merupakan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN.
Baca Juga: Akses Darat, Laut, dan Udara Pasca Gempa Palu Sudah Normal
Selanjutnya pertemuan kembali terjadi pada Juli 2017, Kotjo dan Eni kembali menemui Sofyan Basir dan Supangkat di ruang kerja Dirut PLN.
Sofyan saat itu memerintahkan Supangkat untuk menjelaskan mekanisme pembangunan IPP proyek PLTU Riau-1, di mana PT PLN dapat bermitra dengan perusahaan swasta.
Syaratnya, kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN minimal 51 persen. Pada pertemuan itu, kata Jaksa KPK, Supangkat menjelaskan pihak Kotjo nantinya bisa menyediakan dana modal untuk anak perusahaan PT PLN. Kotjo menyanggupi konsesi tersebut.
Kemudian, masih tahun 2017, Eni kembali bertemu dengan Kotjo dan Sofyan di Lounge Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dalam pertemuan itu, Sofyan menyampaikan bahwa Kotjo akan mendapatkan proyek PLTU Riau-1, dengan skema penunjukan langsung. Tapi, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen.
Selanjutnya, Kotjo melalui Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang, menyiapkan dokumen bermitra untuk memasok batubara terhadap proyek PLTU Riau-1, bekerja sama dengan PT PLN dan PT Samataka Batu Bara.
Pada September 2017, bertempat di Restoran Arkadia Plaza Senayan, Jakarta Selatan, Eni kembali memfasilitasi Kotjo melakukan pertemuan dengan Sofyan Basir dan Supangkat.
"Itu pertemuan Eni meminta Sofyan Basir membantu terdakwa (Kotjo) mendapatkan proyek PLTU, di mana Sofyan kemudian memerintahkan Supangkat mengawasi proses kontrak proyek PLTU," ujar Ronald.
Hingga akhirnya, untuk kelanjutan proyek PLTU Riau-1, Eni berkoordinasi dengan Idrus Marham. Dalam perjalanan pengerjaan proyek tersebut, Setnov ditangkap KPK dalam kasus KTP elektronik pada bulan November 2017.
Untuk diketahui, Kotjo didakwa memberikan uang imbalan kepada tersangka Eni Maulani dan Idrus Marham, bila kedua orang itu memuluskan proyek PLTU Riau sebesar Rp 4.7 miliar. Adapun nilai proyek PLTU Riau-1 mencapai USD 900 juta.
Kotjo didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.