"Pada 13 September 2018 lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk berkumpul bersama warga Indonesia yang tinggal di Penang. Pada kesempatan itu, saya banyak mendengar persoalan masyarakat kita di Penang," ungkap Farouk.
Lantaran ketidakjelasan status ini, mereka banyak mengalami kesulitan hidup. Anak-anak TKI non-prosedural menghadapi akses pendidikan yang terbatas. Meski Pemerintah Malaysia menjamin pendidikan adalah hak azasi bagi setiap orang, tapi dalam praktiknya tidak demikian.
Anak-anak buruh migran bisa mengenyam pendidikan hanya di sekolah agama, sebagian bisa masuk sekolah umum tapi tidak mendapatkan sertifikat atau ijazah.
Dari pengakuan warga Indonesia yang tinggal di Penang, untuk sekadar pulang kampung saja ketika ada keperluan mendesak juga tidak mudah.
Alhasil, mereka harus mengurus semacam pengganti paspor yang disebut Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Untuk mengantongi dokumen ini bukan perkara mudah karena pengurusannya sangat sulit, dan perlu mengeluarkan uang yang tidak sedikit mengingat kondisi mereka sudah overstayed.
Tak kalah menyedihkan, banyak TKI ilegal yang kesulitan mendapatkan administrasi kematian dan mencari kuburan. Bahkan ada jenazah yang sampai 14 hari belum juga dikubur karena terganjal ketidakjelasan statusnya.
"Untuk keluar dari Malaysia sudah sulit, mau dikubur pun juga tidak kalah susahnya," keluh dosen Perbanas Institut dan Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.
Di satu sisi, keinginan hidup di Malaysia membuat mereka juga rentan terjebak oleh perusahaan-perusahaan setempat yang mengklaim bisa mengurus pemutihan status dengan mendapatkan dokumen resmi (visa kerja).
Salah satunya lewat program penempatan kembali (rehiring) kerja di Malaysia. Adapun biaya yang dikeluarkan sekitar 5.000 hingga 7.500 Ringgit Malaysia yang disisihkan dari hasil kerja. Celakanya, banyak yang tanpa hasil alias tertipu calo.
Surat izin kerja tidak keluar sedangkan perusahaan yang menawarkan jasa tersebut hilang tak karuan.