“Dulu sewaktu saya kecil, nenek suka mengambil lumut di bawah kaki tiang bangunan itu kalau musim hujan atau musim nanem. (Lumut) itu jadi rebutan karena katanya bisa menyembuhkan bengek (asma), dan memang sembuh,” terangnya.
Namun, seiring perkembangan waktu, masyarakat mulai memiliki kesibukan lain seperti bekerja sehingga tidak lagi ada yang melakukan tradisi tersebut.
“Sekarang orang tak ada yang memerhatikan kayak begitu, yang penting kerja saja kan. Cuma memang biasanya ada yang masih meletakkan sesaji setiap 1 Muharam,” jelasnya.
Selain kebiasaan warga memberi sesaji, Sidih mengakui pernah mengalami kejadian mistis di bangunan tersebut. Dia melihat sosok seorang kakek yang tidak dikenal hingga penampakan sebilah keris yang ada di tengah tiang tersebut.
Baca Juga: Dede Idol, Miskin Usai Indonesian Idol Akhirnya Jadi Perampok
“Kalau kakek-kakek itu saya lihatnya belum lama, pokoknya tahun 2000-an. Soalnya Kecamatan Pinang sudah ada (terbentuk). Kakek-kakek itu pakai udeng-udeng (sorban) putih jalan di sekitar batu. Terus jalan ke sekitar persawahan. Nah tak lama, jam 8 malamnya, kesurupan massal anak Paskibra yang lagi latihan di kecamatan, katanya karena banyak yang pacaran dipojokan. Kalau keris saya lihat cahaya keris sampai ke langit gitu,” ujarnya.
Sidih mengakui, saat ini warga sekitar tidak lagi meminta sesuatu dari bangunan tersebut. Warga menghormati bangunan yang ada di tengah persawahan tersebut sebagai bangunan sejarah yang telah lama berdiri.
“Sekarang kan mintanya sama yang Maha Kuasa saja. Kalau dulu ada kejadian-kejadian atau yang ngasih sesaji, itu cuma sariat, tapi mintanya tetap sama yang Maha Kuasa,” tandasnya.
Berita ini kali pertama diterbitkan BantenHits.com dengan judul ”Tiang Diduga Peninggalan Belanda di Pinang Dijadikan Tempat Pemujaan”
Baca Juga: Miris, 92 Ribu Sekolah Dasar di Indonesia Tak Punya Perpustakaan