"Di Malaysia, kami memiliki otoritas Islam resmi yang mendefinisikan bagaimana Islam harus ditafsirkan dan sebagainya. Anda tidak memiliki itu di Indonesia, sehingga Anda memiliki rasa bagaimana Islam harus dipraktekkan," katanya.
Faisal mengatakan meningkatnya intoleransi adalah tren global, bukan perkembangan unik di kawasan itu.
"Namun, saya optimis bahwa kami dapat mengatasi masalah ini selama kami terus mempromosikan rasa hormat dan toleransi," katanya.
Survei juga mempertanyakan responden tentang prioritas hidup mereka, dengan 28,7 persen responden muslim di Indonesia mengatakan menjadi orang yang baik adalah yang paling penting, sementara 30 persen responden dari negara lain memprioritaskan menjadi muslim yang baik.
Psikolog sosial Ananthi Algr Ramiah, yang juga terlibat dalam penelitian, mengatakan bahwa preferensi semacam itu merupakan indikator kunci dalam mengukur tingkat intoleransi secara keseluruhan karena akan membentuk pandangan mereka terhadap kehidupan dan cara mereka memandang orang lain.
Dia mengatakan, itu sebabnya sistem pendidikan yang mempromosikan rasa hormat terhadap orang lain sangat penting untuk memerangi intoleransi.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Hakimul Ikhwan menyoroti bagaimana orang Indonesia bangga dengan keragaman di negara itu tetapi membatasi interaksi mereka dengan orang-orang dari latar belakang agama yang berbeda.
"Kami semakin terbagi," katanya.
Rizka Halida, peneliti senior di LSI, yang memimpin survei Indonesia, menyarankan bahwa interaksi intensif antar warga akan meningkatkan tingkat pemahaman di antara orang-orang, khususnya mereka yang berlatar belakang agama berbeda.