Suara.com - Pengkhotbah Gus Miftah Habiburrahman menjadi buah bibir, setelah video dirinya berceramah dan berselawat di hadapan perempuan pemandu karaoke di kelab malam Boshe Bali, Kamis (6/9) pekan lalu, menjadi polemik.
Satu sisi, ada pihak yang menilai baik Gus Miftah berceramah di tempat tersebut. Tapi di lain sisi, ada pula yang menilai Gus Miftah tak layak mengumandangkan selawat di tempat tersebut.
Gus Miftah sendiri merupakan kiai pengelola Pondok Pesantren Ora Aji, di Tundan, Puromartwani, Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Suara.com mengunjungi ponpes kiai nyentrik tersebut, Selasa (11/9/2018). Di ponpes tersebut, Suara.com ditemui Aris Rohmanto, salah satu pengurus.
Baca Juga: Indonesia Menang, Kurniawan: Pemain Ikuti Instruksi Pelatih
“Pesantren ini berdiri 2011. Dulunya, kawasan ini masih hutan bambu. Abah (Gus Miftah) yang merintis,’’ ujar Aris.
Ia menjelaskan, nama Ora Aji dipilih langsung oleh Gus Miftah. Secara filosofis, nama itu bermakna bahwa manusia tidak ada harganya di hadapan Tuhan kecuali kadar keimanan serta ketaqwaan.
“Itu Abah yang memberi nama. Agar kadar keimanan dan ketaqwaan manusia berharga di hadapan Allah, bisa dicapai melalui pendidikan agama di ponpes,” jelasnya.
Terhitung sudah hampir enam tahun ponpes itu berdiri. Para santri kebanyakan adalah mahasiswa di Yogyakarta, seperti dari Universitas Gajah Mada, Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga, dan universitas swasta.
“Abah buka ponpes ini gratis, tidak ada pungutan sepeser pun. Total ada 70 santri maupun santriwati,” tuturnya.
Baca Juga: Bantah Melakukan Kampanye, Sandiaga: Tidak Mengajak Pilih Siapa
Tidak hanya mengelola pesantren, Gus Miftah juga dikenal sering melakukan dakwah di kafe, bahkan di lokasi prostitusi legendaris Yogyakarta, yakni Pasar Kembang atau beken disebut Sarkem.
“Beliau pernah berdakwah dan mengayomi preman-preman, PSK Sarkem, kafe-kafe di Yogakarta. Tak hanya itu, mereka juga sering diundang ke pondok pesantren,” tuturnya.
Menurut Aris, Gus Miftah tidak mencari popularitas dengan berdakwah di tempat-tempat seperti itu. Ia mengatakan, cara dakwah seperti itu adalah warisan para wali era dulu.
“Ibaratnya menyapu itu kan di tempat kotor. Lampu juga dinyalakan di tempat gelap. Kasih tongkat kepada yang buta. Kasih baju kepada orang yang tak memakai baju. Abah melakukan itu sudah puluhan tahun. Di lokalisasi Sarkem juga puluhan tahun,’’ ungkap Aris.
Mengenai berkhotbah dan berselawat di kelab malam, Aris juga menyatakan Gus Miftah memunyai filosofinya sendiri.
“Intinya begini, orang-orang yang bekerja di tempat biasa belum tentu mau mendengarkan ceramah apalagi berselawat. Tapi orang-orang yang pekerjaannya dianggap tak lazim bisa berselawat, bagaimana penilaiannya? Ini memotivasi,” tuntasnya.
Kontributor : Abdus Somad