Suara.com - Anggodo Widjojo (Ang Tjo Lee), pengusaha beken yang pernah menjadi terpidana kasus permufakatan jahat karena mencoba menyuap pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, meninggal dunia.
Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Premier Nginden Surabaya, Jawa Timur, Jumat (7/9/2018). Hingga kekinian, belum ada keterangan resmi mengenai penyebab dirinya meninggal dunia.
Sigin, Petugas Yayasan Adi Jasa, kepada Suara.com, Senin (10/9) dini hari, mengatakan jenazah Anggodo sempat disemayamkan di rumah duka tempatnya bekerja.
”Benar, jenazah Pak Anggodo sempat disemayamkan di sini, sejak Jumat malam,” kata Sigin.
Baca Juga: April Jasmine Kewalahan Urus si Kembar di Bulan Pertama
Tak sampai 24 jam, jenazah Anggodo dibawa pihak keluarga ke Jakarta pada Sabtu (8/9) pagi.
Sementara berdasarkan informasi yang terhimpun, jenazah Anggodo akan dimakamkan di pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Selasa (11/9) besok.
Anggodo sempat dipenjara karena terbukti secara sah terlibat kasus permufakatan jahat saat mencoba menyuap pimpinan dan penyidik KPK.
Percobaan suap itu dilakukan Anggodo agar penyidik lembaga antirasywah tersebut berhenti melakukan penelisikan terhadap kasus korupsi program revitalisasi jaringan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan tahun anggaran 2006-2007.
Anggodo lantas divonis hukuman 4 tahun penjara. Namun, pada tahun 2014, Mahkamah Agung menambahkan hukuman bagi Anggodo menjadi 10 tahun bui.
Baca Juga: Akhiri Kutukan Ducati di Misano, Dovizioso: Sempurna!
Saat kasus itu bergulir, persisnya tahun 2009, dua lembaga penegakan hukum di Indonesia, yakni KPK dan Polri sempat bersitegang dan memunculkan frasa ”cicak versus buaya”.
Anggodo kala itu meyakini, pemimpin KPK bisa diberi uang suap agar sang kakak, Anggoro Widjojo, terlepas dari jeratan hukum.
Sang kakak, Anggoro, selain diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi SKRT Dephut, juga terseret perkara rasywah alih fungsi hutan lindung di Sumatera Selatan.
Polemik ”cicak versus buaya” tersebut berakhir setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Anggodo 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan.
Namun, Anggodo tak puas dan mengajukan banding. Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, Anggodo kalah.
Pada bulan November 2010, hukumannya justru diperberat menjadi 5 tahun penjara. Hukuman itu bertambah tatkala Anggodo lagi-lagi kalah di MA, sehingga dihukum 10 tahun penjara serta denda Rp 250 juta.
Ketika menjalani masa hukumannya, Anggodo sempat mengajukan pembebasan bersyarat atas dasar sakit berkepanjangan. Pengajuan pembebasan bersyarat itu terjadi pada tahun 2014.
Dalam surat permohonan pembebasan bersyarat, Anggodo menyertakan diagnosis dokter Sony Wicaksono dari Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita, Jakarta. Tim dokter mendiagnosis Anggodo menderita angina equivocal DM tipe II.
Diagnosis tersebut diperkuat oleh pernyataan dokter Teguh Ranakusuma dari Divisi Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Berdasarkan keterangan dokter Teguh kala itu, Anggodo selain menderita angina equivocal DM tipe II juga memunyai penyakit dizzines, cervical spur, HNP lumbal, dan tuberkulosis yang disertai infeksi paru-paru.
Namun, permohonan pembebasan bersyaratnya kala itu ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Sebabnya, Anggodo batal menerima remisi kesehatan yang menjadi salah satu persyaratan pembebasan bersyarat.