Suara.com - Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie angkat bicara atas polemik antara KPU dan Bawaslu. Hal itu terkait perdebatan boleh tidaknya mantan narapidana atau napi korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019.
Jimly mengatakan, meski merasa prihatan atas putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengabulkan gugatan mantan napi korupsi. Namun berdasarkan undang-undang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menurutnya wajib menjalankan putusan Bawaslu tersebut.
"Ya apa boleh buat, meski pahit dan saya secara pribadi juga ikut prihatin dengan putusan (Bawaslu) tersebut. Tapi undang-undang sudah menentukan bahwa putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat. Artinya, wajib dihormati dan dilaksanakan oleh KPU sebagaimana adanya," kata Jimly saat dihubungi Suara.com, Jumat (7/9/2018).
Untuk diketahui, DKPP telah melakukan pertemuan tripartit dengan KPU dan Bawaslu pada Rabu (5/9/2018) malam. Pertemuan tersebut di pimpin oleh Ketua DKPP Harjono dan dihadiri oleh ketua serta komisioner KPU dan Bawaslu. Hasilnya, salah satunya meminta MA untuk mempercepat putusan uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Baca Juga: Jokowi Bagikan Sertifikat Tanah, Fadli Zon: Nggak Skalian e-KTP?
Terkait hal itu, Jimly menjelaskan, bahwa putusan Bawaslu bersifat prospektif. Artinya, jika hasil uji materi oleh MA membatalkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, maka putusan Bawaslu harus dijalankan oleh KPU dan berlaku bagi seluru bakal caleg mantan napi korupsi.
Sementara, jika putusan MA membenarkan PKPU tersebut, maka KPU tetap harus mengakomodasi putusan Bawaslu sebelumnya.
"Kalau putusan MA membenarkan PKPU, yang bisa diakomodasi paling-paling yang sudah diputus oleh Bawaslu saja, di mana putusan Bawaslu itu memang bersifat final dan mengikat. Artinya tidak berlaku retroaktif, tapi prospektif. Yang tidak menggugat sejak sebelum salah sendiri dan harus fair untuk menerima," jelasnya.