Suara.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD memandang iklim berdemokrasi di Indonesia kekinian sebagai demokrasi yang kebablasan. Dengan begitu, demokrasi dijadikan jalan baru oleh sebagian orang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Mahfud mengatakan celah untuk melakukan korupsi dapat ditempuh dengan cara proses berdemokrasi. Oknum yang salah, kata dia, dapat dibenarkan oleh lembaga.
"Misalnya anda mau korupsi sesuatu lewat DPR saja, pesan pasal, pesan Undang-Undang. Disitu korupsi bisa dilakukan," kata Mahfud di Kantor Pergerakan Indonesia Maju, Jalan Brawijaya VIII Nomor 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (6/9/2018).
Analogi yang dicontohkan Mahfud kerap terjadi kalau Undang-Undang atau Pasal yang dibahas tersebut diperjualbelikan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu.
Baca Juga: Badan Kepegawaian Blokir Data 2.357 PNS yang Terlibat Korupsi
"ketika mau ditangani secara hukum, ini ada undang undangnya, Sudah disetujui DPR dan DPD itu pun kemudian jual beli ini beli kan, nah itu yang dimaksud demokrasi kebablasan," jelasya.
Meminjam istilah Ekonom Senior Rizal Ramli, Mahfud menyebut kondisi seperti itu merupakan demokrasi kriminal.
"Jadi ada satu hasil penelitian juga ada di Australia yang berangkat dari asumsi bahwa jika demokrasi itu maju, maka korupsi itu akan bisa dikurangi atau kalau demokrasi semakin tinggi semakin habis korupsi, tapi hasil penelitian menyebutkan di Indonesia semakin demokrasi semakin banyak korupsinya," tutur Mahfud.
Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut berpendapat korupsi yang dilakukan melalui celah demokrasi mengakibatkan sejumlah anggota DPR menjadi tahanan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Saya sebagai mantan ketua MK tahu persis minimal yang sampai hari ini ada di penjara itu ya karena menjual pasal. Jadi kamu mau pasal apa bayar ke dia, sekarang ada delapan orang dipenjara dari DPR, baru keluar satu," tandasnya.
Baca Juga: Jadi Tersangka Korupsi, Nur Mahmudi Ngaku Ada Riwayat Stroke