Padahal, di hadapan penyidik, Fitria telah menandatanggani surat kesanggupannya untuk mengembalikan dana milik Dewi.
”Hasil investigasi kami, ada relasi kuasa yang timpang antara Fitri dan Dewi. Yang disebut belakangan, terindikasi menggunakan jabatan suaminya yang jenderal dalam memperkarakan Fitria,” tuturnya.
Dengan demikian, Uli menyebut peristiwa ini menggambarkan arogansi seseorang yang menggunakan kuasa guna memengaruhi proses penegakan hukum.
"Sikap otoritarian dalam kasus ini terjadi dalam beberapa peristiwa yang dapat diduga merupakan pelanggaran terhadap prinsip fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak)," kata dia.
Baca Juga: Raih Dua Emas Asian Games, Paralayang Indonesia Lampaui Target
Ia mengatakan, penjemputan Fitria dari rumah tinggalnya bukan dilakukan oleh pihak kepolisian,melainkan oleh orang yang mengakui diri sebagai ajudan pelapor.
”Jadi ada intimidasi dalam penangkapannya. Dia dijemput dengan alasan untuk mediasi di polsek. Tapi yang terjadi justru penahanan. Bahkan Fitria berkali-kali dipindahkan tanpa mengerti mengapa hal itu terjadi,” jelasnya.
“Fitria mendapatkan surat penahanan pada tanggal 4 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya dia dibawa ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran," jelas dia.
Labih lanjut ia mengatakan, Fitria tidak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 6 Juni 2018, ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan Pondok Bambu.
Padahal, Fitria buta hukum, rentan dan tengah hamil sehingga membutuhkan bantuan untuk memastikan hak-haknya terpenuhi.
Baca Juga: Habibie Ungkap Sejarah Pembentukan BPPT 40 Tahun Lalu
"Kami menilai, penyidik tidak cermat dalam menganalisis peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap sesorang haruslah diperhatikan cermat oleh penyidik, karena azas hukum pidana adalah ‘ultimum remedium’, bukan sebaliknya, menggunakan hukum pidana sebagai senjata untuk menekan seseorang atau memenuhi kepentingan seseorang," papar dia.