Suara.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menegaskan, seseorang yang mengatakan suara azan terlalu keras tidak dapat disebut sebagai penistaan agama.
Hal tersebut ditegaskan Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas, setelah Meiliana, perempuan berusia 44 tahun di Tanjung Balai, Sumatera Utara, divonis penjara 1 tahun 6 bulan karena dinilai menistakan agama.
Kasus Meiliana itu bermula ketika dia meminta tetangganya untuk mengecilkan volume pelantang suara masjid yang tengah mengumandangkan azan pada tahun 2016. Meiliana sendiri divonis Pengadilan Negeri Medan pada Selasa (21/8/2018).
"Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (22/8).
Baca Juga: Pergoki Tunangan Nonton Video Porno, Perempuan Ini Batal Menikah
Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.
"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi.
Untuk diketahui, Meliana asal Tanjung Balai disidang di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara karena mengeluhkan suara adzan yang dianggapnya terlalu keras.
Meliana dinilai jaksa penuntut umum melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan 156a KUHP dan dituntut hukuman 1,5 tahun penjara.
Baca Juga: Sandiaga Uno Tolak Dikawal Pasukan Berani Mati
Pernyataan Meliana dianggap sebagai pemicu kerusuhan, di mana sekelompok orang membakar dan merusak wihara dan Klenteng di Tanjung Balai.