Suara.com - Mantan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo mengakui, keputusan penghapusan utang petani tambak di Bank BDNI yang berstatus bank beku operasi (BBO), diputuskan saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004, yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun, menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keungan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI.
Sidang itu, kata dia, digelar atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.
"Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagenda bukan atas usulan KKSK, tapi oleh aparat keamanan dan intelijen," katanya saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus penerbitan SKL BLBI di gedung Pengadian Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (16/8/2018).
Baca Juga: Harta Ma'ruf Amin Rp 11 Miliar, Punya Utang Rp 600 Juta
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan karena devaluasi Rupiah, yang membuat hutangnya membengkak.
Belum lagi ditambah suku bunga yang amat tinggi, sehingga mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit ke bank.
Inilah yang membuat pertani resah, sehingga menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi dan dikhawatirkan berpotensi amuk semakin meluas di tengah krisis saat itu.
Atas pertimbangan itulah, aparat keamanan meminta digelar sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini.
"Jadi rapat itu tidak ada kaitannya dengan penyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan," kata Bambang.
Baca Juga: Jadi Jubir Jokowi - Ma'ruf, PDIP Minta Publik Nilai Farhat Abbas
Berkaitan hal tersebut, dalam rapat itu dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar lebih dari 11 ribu orang petani tambak. Kata Bambang, disadari bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya.
Caranya adalah, dengan menghapus-bukuan sebagian kewajiban utang petani tersebut, sehingga kewajibannya pada saat itu dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 1,1 triliun, atau masing-masing menjadi Rp 100 juta per orang.
Menurutnya, sesuai kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu yaitu bank beku operasi (BBO), bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi.
Namun, dalam hal petani tambak ini, keputusan write off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.
Menjawab pertanyaan penasihat hukum terdakwa Yusri Ihza Mahendra, tentang apakah Presiden Megawati pada saat itu menyetujui keputusan write off utang petani tambak ini, Bambang mengatakan, dalam pemahamannya yang hadir dalam rapat itu, presiden menyetujui.
"Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat 'silakan dilanjutkan' dan menurut saya itu adalah satu persetujuan," katanya.
Dalam penjelasannya, Bambang juga menegaskan kehadiran BPPN, perjanjian MSAA dan berbagai tindakan yang diambil didasarkan kesadaran pemerintah saat itu bahwa berbagai instrumen keuangan yang telah digunakan tidak mampu mengatasi krisis keuangan 1997-1998.
Karenanya, diperlukan satu kebijakan yang pamungkas yaitu mengeluarkan kebijakan blanket guarantee terhadap semua dana masyarakat di perbankan.
Selain itu, mendirikan badan khusus yaitu BPPN dan melakukan perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan pemilik bank dengan skema out of court settlement melalui perjanjian yang dikenal Master Setellement and Acquisition Agreement (MSSA).
Di antara pemilik bank yang menandatangani MSAA adalah Anthony Salim (Bank BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Bob Hasan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (RSI).
"Desain kebijakannya memang begitu, karena inilah yang dinilai bisa menjadi senjata pamungkas dalam menangani krisis ekonomi saat itu agar tidak semakin dalam," tandas Bambang.