Ahli Kasus BLBI: Penghapusbukuan Bukan Kerugian

Selasa, 14 Agustus 2018 | 00:26 WIB
Ahli Kasus BLBI: Penghapusbukuan Bukan Kerugian
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung. (Suara.com/Nikolaus Tolen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan bahwa penghapus bukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

"Penghapus bukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potensial lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi," katanya saat bersaksi sebagai ahli dalam sidang terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).

Sigit menegaskan hal itu ketika menjawab pertanyaan kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra mengenai perbedaan antara penghapusan bukuan dengan penghapusan hak tagih. Pertanyaan tersebut diajukannya terkait dengan dakwaan jaksa KPK kepada kliennya yang merugikan negara sebesar Rp 4,8 triliun.

Syafruddin disebut telah mengusulkan kepada KKSK untuk menghapus bukukan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI. Keputusan penghapus bukuan utang petambak tersebut diputuskan oleh rapat KKSK pada 13 Februari 2004.

Menurutnya, konsekuensi penghapus bukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada. Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.

Baca Juga: Korupsi BLBI, Ahli Jelaskan Alur Peminjaman dan Pengembalian Uang

Dalam kesaksiannya, Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan Syafruddin adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN, dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya.

"Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa Pak Syafruddin berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat. Sehingga seharusnya SAT perlu diganjar dengan penghargaan," kata Sigit.

Dihadapan majelis hakim Sigit juga menerangkan, bahwa BPPN bukan lembaga mengejar untung atau rugi atas dana BLBI yang sudah disalurkan sebagai bantuan dana likuiditas pada krisis dahsyat beberapa waktu lalu.

"Jadi bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," jelas Sigit.

Sigit juga menceritakan bahwa kondisi NPL (non performing loan) atau kredit bermasalah saat itu juga sangat berbahaya karena sudah mencapai 30 persen.

Baca Juga: Kasus SKL BLBI, Pengamat: Pemerintah Salah Kenakan Pidana

"NPL juga sangat tinggi secara nasional lebih dari 30 persen. Maksimum (NPL) 5 persen untuk bank sehat. Ini dua indikator saja semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu," jelasnya.

Kata Sigit, karena tingginya kurs dolar yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 16 ribu lebih, maka tidak mungkin nasabah atau siapapun mampu membayar utang yang langsung menggelembung.

"Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih," tandasnya.

Senada dengan Sigit, Yusril juga menegaskan bahwa sesuai keterangan saksi ahli, belum terjadi kerugian negara.

"Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potensial loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian," katanya.

Sedangkan kapan kerugian itu terjadi, lanjut Yusril, sesuai keterangan ahli, bahwa saat aset itu dijual oleh PT PPA kepada pihak lain dari semula hak tagihnya Rp 4,8 triliun, dijual hanya sebesar Rp 220 miliar.

"Dalam hal ini hak tagihnya Rp 4,8 triliun dijual Rp 220 milyar maka kerugian negaranya menjadi Rp 4,58 triliun. Jadi, dari pertanggungjawaban perbankan itu tanggung jawab siapa, itu tanggung jawab yang menjual. Jadi sebenarnya tidak ada kesalahan yang harus dibebankan kepada Syafruddin," jelas Yusril.

Karena itu, Yusril sepakat dengan Sigit yang mengatakan seharusnya Syafruddin diberi penghargaan.

"Jadi mestinya orang-orang seperti Syafruddin ini diberikan penghargaan karena setelah terjadi krisis ini beliau tangani perbankan itu pulih dan perbankan kita sehat kembali. Ekonomi kita ya alhamdulillah baik lagi walaupun beberapa bulan terakhir susah lagi. Bukannya dihukum orang seperti Syafruddin ini," katanya.

"Krisis dari negara lain, kemudian kebetulan mental, ekonomi kita lemah sehingga rupiah terpuruk sampai paling tinggi Rp 16 ribu per 1 dolar AS, karena rupiah jatuh maka hampir semua bank bermasalah," tandas Yusril.

Syafruddin didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun ketika sebagai Ketua BPPN. Kerugian ini disebabkan dia telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.

Padahal, menurut KPK, SN belum berhak menerima SKL karena persoalan kredit bank kepada 11 ribu petambak udang yang menjadi plasma perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan. Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.

Kredit tersebut disalurkan pada saat sebelum krisis ekonomi 1997-1998 dalam bentuk valas senilai 390 juta dollar AS atau setara Rp 1,3 triliun pada kurs saat itu. Ketika kurs rupiah anjlok pada saat krisis, nilai utang petambak tersebut membengkak menjadi Rp 4,8 triliun sehingga mereka kesulitan untuk membayar sehingga kredit menjadi macet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI