Kata Sigit, karena tingginya kurs dolar yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 16 ribu lebih, maka tidak mungkin nasabah atau siapapun mampu membayar utang yang langsung menggelembung.
"Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih," tandasnya.
Senada dengan Sigit, Yusril juga menegaskan bahwa sesuai keterangan saksi ahli, belum terjadi kerugian negara.
"Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potensial loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian," katanya.
Baca Juga: Korupsi BLBI, Ahli Jelaskan Alur Peminjaman dan Pengembalian Uang
Sedangkan kapan kerugian itu terjadi, lanjut Yusril, sesuai keterangan ahli, bahwa saat aset itu dijual oleh PT PPA kepada pihak lain dari semula hak tagihnya Rp 4,8 triliun, dijual hanya sebesar Rp 220 miliar.
"Dalam hal ini hak tagihnya Rp 4,8 triliun dijual Rp 220 milyar maka kerugian negaranya menjadi Rp 4,58 triliun. Jadi, dari pertanggungjawaban perbankan itu tanggung jawab siapa, itu tanggung jawab yang menjual. Jadi sebenarnya tidak ada kesalahan yang harus dibebankan kepada Syafruddin," jelas Yusril.
Karena itu, Yusril sepakat dengan Sigit yang mengatakan seharusnya Syafruddin diberi penghargaan.
"Jadi mestinya orang-orang seperti Syafruddin ini diberikan penghargaan karena setelah terjadi krisis ini beliau tangani perbankan itu pulih dan perbankan kita sehat kembali. Ekonomi kita ya alhamdulillah baik lagi walaupun beberapa bulan terakhir susah lagi. Bukannya dihukum orang seperti Syafruddin ini," katanya.
"Krisis dari negara lain, kemudian kebetulan mental, ekonomi kita lemah sehingga rupiah terpuruk sampai paling tinggi Rp 16 ribu per 1 dolar AS, karena rupiah jatuh maka hampir semua bank bermasalah," tandas Yusril.
Syafruddin didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun ketika sebagai Ketua BPPN. Kerugian ini disebabkan dia telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.
Baca Juga: Kasus SKL BLBI, Pengamat: Pemerintah Salah Kenakan Pidana
Padahal, menurut KPK, SN belum berhak menerima SKL karena persoalan kredit bank kepada 11 ribu petambak udang yang menjadi plasma perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan. Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.