Suara.com - Bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan bahwa penghapus bukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.
"Penghapus bukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potensial lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi," katanya saat bersaksi sebagai ahli dalam sidang terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).
Sigit menegaskan hal itu ketika menjawab pertanyaan kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra mengenai perbedaan antara penghapusan bukuan dengan penghapusan hak tagih. Pertanyaan tersebut diajukannya terkait dengan dakwaan jaksa KPK kepada kliennya yang merugikan negara sebesar Rp 4,8 triliun.
Syafruddin disebut telah mengusulkan kepada KKSK untuk menghapus bukukan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI. Keputusan penghapus bukuan utang petambak tersebut diputuskan oleh rapat KKSK pada 13 Februari 2004.
Menurutnya, konsekuensi penghapus bukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada. Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.
Baca Juga: Korupsi BLBI, Ahli Jelaskan Alur Peminjaman dan Pengembalian Uang
Dalam kesaksiannya, Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan Syafruddin adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN, dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya.
"Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa Pak Syafruddin berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat. Sehingga seharusnya SAT perlu diganjar dengan penghargaan," kata Sigit.
Dihadapan majelis hakim Sigit juga menerangkan, bahwa BPPN bukan lembaga mengejar untung atau rugi atas dana BLBI yang sudah disalurkan sebagai bantuan dana likuiditas pada krisis dahsyat beberapa waktu lalu.
"Jadi bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," jelas Sigit.
Sigit juga menceritakan bahwa kondisi NPL (non performing loan) atau kredit bermasalah saat itu juga sangat berbahaya karena sudah mencapai 30 persen.
Baca Juga: Kasus SKL BLBI, Pengamat: Pemerintah Salah Kenakan Pidana
"NPL juga sangat tinggi secara nasional lebih dari 30 persen. Maksimum (NPL) 5 persen untuk bank sehat. Ini dua indikator saja semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu," jelasnya.