KPAI: Dalam 3 Bulan Ada 33 Kasus Pelanggaran Hak Anak di Sekolah

Senin, 13 Agustus 2018 | 21:28 WIB
KPAI: Dalam 3 Bulan Ada 33 Kasus Pelanggaran Hak Anak di Sekolah
KPAI [Lili/Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama bulan April-Juli 2018 ada 33 kasus pelanggaran hak anak di sekolah. Jenis pelanggarannya pun berbagai macam mulai dari trauma berat, cedera fisik hingga berakibat kematian. 

Kasus sebanyak itu terdiri dari anak korban kebijakan sebanyak 10 kasus atau 30,30%, pungli di sekolah sebanyak 2 kasus atau 6,60%, tidak boleh ikut ujian sejumlah 2 kasus atau setara 6,60%, Penyegelan sekolah sebanyak 1 kasus atau 3,30%, anak putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah sejumlah 5 kasus atau 15%, dan kasus tertinggi adalah anak korban kekerasan atau bully sebanyak 13 kasus atau 39%.

Wilayah pengawasan kasus meliputi wilayah DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, Depok, Garut, Purwokerto, Jogjakarta, Mojokerto, dan Bali.

Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan kekerasan anak di lingkungan sekolah masih saja terjadi. Kekerasan tersebut, dengan dalih mendisiplinkan menjadi tren kasus pendidikan selama April sampai dengan Juli 2018.

Baca Juga: Pekan Ini, KPU Serahkan Verifikasi Berkas dan Tes Kesehatan

“Karena menimbulkan trauma berat, cedera fisik, bahkan sampai mengakibatkan kematian pada anak,” ujar Retno, di Gedung KPAI, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).

Menurutnya, kekerasan yang dilakukan guru cenderung dengan hukuman kekerasan ketimbang melakukan disiplin positif serta pemberian penghargaan atau reward kepada peserta didik. Retno menyoroti kasus anak korban dari sisi kebijakan pendidikan. Menurutnya, kebijakan di pendidikan level sekolah daerah maupun nasional berpotensi melanggar anak. 

“KPAI menyebutnya sebagai 'anak korban kebijakan'. Seperti kasus yang terjadi di SDN Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Begadai, Sumatera Utara, ada guru yang menghukum siswanya menjilat WC karena lupa mengerjakan tugas. Hukuman jilat WC diperintahkan sebanyak 12 kali, namun baru jilatan keempat, anak mengalami muntah. Hukuman ini tentu saja menimbulkan trauma bagi korban,” ujarnya.

Selain kedisiplinan, ada juga kasus pelanggaran dari lalainya seorang guru di sekolah. Seperti meninggalnya siswa karena ditusuk kawan sebangku karena pada saat itu, guru menugaskan untuk membawa gunting. Kasus tersebut berlokasi di salah satu SDN di Kabupaten Garut.

Retno mengatakan, lembaganya bekerjasama dengan dinas-dinas pendidikan untuk melakukan program Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk mengatasi banyaknya kasus kekerasan anak di sekolah. 

Baca Juga: Al Ghazali Bakal Polisikan Media yang Sebut Dirinya Overdosis

Dia pun berharap, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga bersinergi dengan Kementerian Lembaga (KL) terkait percepatan Raperpres SRA yang sudah diinisiasi dalam dua tahun lalu.

“KPAI mendorong  Kemdikbud dan Kemenag Republik Indonesia untuk secara berkelanjutan memiliki program peningkatan kapasitas guru dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas. Hal ini diperlukan agar para guru dapat menangani anak-anak yang bermasalah di kelasnya tanpa kekerasan,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI