Suara.com - Koordinator tim kuasa hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra mempersoalkan status ahli yang dihadirkan jaksa KPK yakni dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara. Menurut Yusril, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada halaman 13 Nyoman diperiksa sebagai saksi, namun pada halaman 1 statusnya sebagai ahli.
Yusril pun merasa keberatan dihadirkannya auditor BPK sebagai seorang saksi. Sebab, sebagai ahli dia harus memberikan pendapat terkait hasil audit BPPN tahun 2006 yang dilakukannya.
"Beliau dihadirkan sebagai ahli, kami tidak mempersoalkan, sebagai saksi ahli akan menjelaskan hasil pemeriksaan audit BPK yang melaksanakan audit beliau sendiri," kata Yusril dalam sidang lanjutan kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (6/8/2018).
Dia menilai jika I Nyoman Wara jadi ahli terkait dengan alat bukti akan terjadi dualisme.
Baca Juga: Timnas Basket Filipina Batal Mundur dari Asian Games 2018
"Kita paham keterangan saksi dan ahli berdasarkan pasal 1, tapi beliau dihadirkan sebagai ahli terkait alat bukti sebelumnya dan alat bukti bisa dualisme karena bisa keterangan ahli dan alat bukti," jelasnya.
Lantas Yusril meminta agar posisi Nyoman dalam persidangan diklarifikasi. Ketua Majelis Hakim menuturkan memang biasanya auditor BPK dihadirkan dalam sidang sebagai saksi. Hakim lalu bertanya bagaimana posisi dia ketika KPK melakukan penyidikan.
"Anda waktu diperiksa di kpk jadi apa?" tanya Hakim Yanto.
Nyoman kemudian mengatakan dirinya pernah diperiksa sebagai ahli. Dia mengaku sebagai ahli di bidang akutansi dan auditing. Kemudian hakim memeriksa surat tugas yang bersangkutan.
Hakim tak mempersoalkan status auditor BPK dalam BAP saat penyidikan perkara BLBI. Namun, hakim mempersilakan pihak kuasa hukum untuk menanyai langsung saja dalam persidangan ini sebagai ahli.
Baca Juga: Polri: Penangkapan 260 Terduga Teroris Sesuai Prosedur
"Tinggal nanti saja, saudara tinggal tanya aja pendapat dia, dia kan harus memberikan pendapat," tegas Hakim Yanto.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp 4,5 triliun karena menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Bank Dagang Nasional Indonesia. Kasus yang menjerat dirinya bermula pada Mei 2002, di mana Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres nomor 8 tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden.
Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP