Suara.com - Setelah revisi UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme disahkan oleh DPR, Presiden diminta untuk membuat Perpres mengenai pelibatan TNI dalam menangani terorisme.
Pasal 431 UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme adalah bagian dari operasi militer selain perang. Dalam mengatasi aksi terorisme dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Ketentuan mengenai pelaksanaannya diatur dengan peraturan presiden (Perpres).
Juru biacara koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Imparsial, Kontras, Elsam, Setara Institute, YLBHI, ICW, dan PSHK, Al Araf menilai pengaturan pelibatan TNI melalui Perpres kurang tepat. Karena sepatutnya, pengaturan tentang perbantuan TNI diatur dalam undang-undang dan bukan melalui Perpres.
Menurut dia, persoalan ini disebabkan karena pemerintah dan DPR sejak reformasi tidak mau membentuk UU Perbantuan. Padahal itu merupakan mandat reformasi. Pembentukan Perpres akan jauh lebih tepat jika diawali dengan membentuk UU Perbantuan sebagai payung hukum aturan main TNI dalam operasi militer selain perang.
Baca Juga: Siswa SMP Tewas Tenggelam Usai Kemah Hari Pramuka
Dalam konteks Perpres pelibatan TNI, kalaupun pemerintah bersikeras untuk dibuat maka harus merupakan aturan main (rules of engagement) pelibatan TNI dalam menangani terorisme. Dengan demikian, Perpres tersebut harus memuat prinsip-prinsip dasar yang mengatur dalam situasi apa dan dalam kondisi apa TNI dapat terlibat, serta hal-hal apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan TNI dalam penanggulangan terorisme.
"Hal pertama yang perlu dijadikan pijakan dalam perumusan Perpres tersebut adalah Perpres tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, tiga aturan hukum yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Perpres adalah UU No. 34/2004 tentang TNI, UU No. 23/1959 tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya dan UU No. 39/1999 tentang HAM," jelas Al Araf dalam diskusi Publik bertema ‘Menyikapi Perpres Perlibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme’, di Gedung Puri Imperium Office Plaza, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (3/8/2018).
Pengaturan pelibatan TNI di dalam penanganan terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas di dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 di dalam UU No 32/2004 tentang TNI. Pasal 7 Ayat 2 menyebutkan bahwa militer menjalankan operasi militer selain perang dan salah satunya mengatasi aksi terorisme. Kemudian pelaksanaan tugas operasi militer selain perang itu baru dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 Ayat 3).
"Kami menilai pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di dalam negeri dalam rangka menjaga keamanan juga perlu memperhatikan status keadaan bahaya yang di atur dalam UU No 23/1959 tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Mengacu kepada undang-undang tersebut yang maka dalam situasi damai hingga darurat sipil kendali keamanan dalam mengatasi ancaman terjadi tetap berada di bawah kendali kepolisian. Sehingga jika militer dilibatakan dalam situasi tersebut maka sifatnya mendukung kepolisian atau dikenal dengan dibawah kendali operasi kepolisian (BKO)," beber Al Araf.
Namun demikian, jika eskalasi ancaman terhadap keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara dan kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer maka posisi militer berada di depan menjadi leading sektor yang mengatasi ancaman terhadap keamanan tersebut semisal masalah terorisme. Dalam situasi darurat militer itu, posisi kepolisian sifatnya mendukung militer.
Baca Juga: Jokowi Kantongi 3 Nama Pengganti Hakim Konstitusi Maria Farida
Dalam konteks itu maka Perpres pelibatan TNI perlu secara tegas menegaskan bahwa dalam situasi damai (tertib sipil) hingga darurat sipil pelibatan TNI fungsinya mendukung kepolisian dan berada di bawah kendali operasi kepolisian. Namun jika dalam kondisi darurat militer maka posisi militer menjadi leading sector dan kepolisian membantu militer.
"Kami menilai, sebagai bagian dari operasi militer selain perang, maka pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir (last resort) setelah semua institusi keamanan yang ada tidak mampu lagi mengatasi ancaman terorisme, bersifat sementara dan pelibatan itu harus atas perintah otoritas politik (civilian supremacy)," jelasnya.
Akuntabilitas hukum dalam menjalankan operasi mengatasi terorisme juga harus jelas, yakni baik itu polisi maupun TNI perlu tunduk pada mekanisme peradilan umum perihal tanggungjawab hukumnya jika suatu saat terjadi pelanggaran atau kesalahan.
“Kami menilai, pelibatan militer dalam penanganan terorisme sebagai operasi militer selain perang tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya. Keterlibatan yang berlebihan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan terhadap pelaksanaan peran utamanya, yaitu menghadapi perang," katanya.
Selanjutnya, keterlibatan tidak tepat secara kontekstual juga dikhawatirkan dapat menimbulkan bentuk-bentuk , dimana hal ini akan menjadi preseden buruk bagi intervensi militer terhadap ranah sipil demokrasi maupun pembangunan profesionalisme militer.
Oleh karena itu, Al A’raf mengatakan koalisi LSM ini mendesak agar DPR dan Pemerintah membuat UU Perbantuan sebelum Perpres pelibatan TNI dibuat. Lalu, Pepres pelibatan TNI tidak boleh bertentangan dengan UU dan harus merupakan aturan main pelibatan TNI dalam penangan terorisme yg menjadi rambu rambu dasar apa yg boleh dan tidak boleh dilakukan TNI dalam menangani terorisme di dalam negeri.
Selain itu, katanya, Pelibatan TNI harus merupakan pilihan terkahir (last resort) setelah semua kapasitas pemerintah tidak bisa lagi menangani terorisme.
"Pelibatan TNI tidak boleh mengganggu dan merusak sistem penegakan hukum dalam penanganan terorisme dan yang terakhir yaitu pelibatan militer harus tunduk dalam sistem peradilan umum jika terjadi kesalahan dalam penanganan terorisme," imbuh dia.