Suara.com - Ahli Filsafat Rocky Gerung mempertanyakan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tak kunjung menyidangkan judicial review Pasal 222 Tentang Presidential Threshold atau Ambang Batas Pencalonan Presiden (PP) di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Pasal yang mewajibkan calon presiden mendapatkan dukungan dari 20% kursi di parlemen atau 25% suara partai secara nasional, digugat Rocky bersama sejumlah akademisi karena dinilai telah merampas hak publik untuk mendapatkan pilihan calon presiden yang lebih banyak.
"Jadi ada semacam kegalauan di publik menunggu yang kini kepastian dari MK," kata Rocky dalam sebuah diskusi publik di PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (31/7/2018).
Rocky mengatakan, mereka yang saat ini menggugat Pasal 222, dituding sebagai kelompok sakit hati. Ia pun membantah tudingan tersebut.
"Sebetulnya kita bukan sakit hati, tapi kita sakit karena menyaksikan sejumlah irasionalitas dipamerkan secara telanjang, bahkan tidak diedit irasionalitasnya," ujar Rocky.
Rocky mengatakan, kurang lebih sudah dua bulan mereka mengajukan gugatan ke MK, namun tak kunjung disidangkan. Bahkan terkesan kalah penting dengan agenda-agenda lain.
"Sudah dua bulan, urgensinya ini seolah-olah tertinggal oleh kegenitan talk show," kata Rocky.
Ia pun mengingatkan, MK didesain untuk memurnikan kontitusi, sekaligus untuk menghasilkan kontitusi yang masuk akal dalam berwarganegara.
"Karena itu kita sangat menginginkan MK melakukan peran yudisial aktivism. Aktif untuk menghasilkan demorkrasi. Yang ada sekarang ini pasif," tutur Rocky.
"Sekarang kita bertanya kenapa dia pasif padahal keadaan di luar sangat aktif. Keadaan politik sangat dinamis dan aktif," tandasnya.