Kisah Anak-anak Pengebom Bunuh Diri dan Sekolah Rahasia

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 30 Juli 2018 | 20:13 WIB
Kisah Anak-anak Pengebom Bunuh Diri dan Sekolah Rahasia
Satu anak yang selamat saat orang tuanya melakukan bom bunuh diri di Indonesia tengah asyik menggambar di sekolah rahasia. [ABC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejatinya, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Anak si miskin, pencuri, perampok, atau bramacorah, semuanya berhak atas pendidikan. Pun anak-anak teroris, meski mereka harus disekolahkan di tempat khusus dan rahasia.

Kotak pensil yang diatur rapi di atas meja sekolahnya, seorang gadis berusia delapan tahun tampak berhati-hati memulas gambar binatang.

Sesekali ia tersenyum dan mengobrol dengan teman-teman sekelasnya saat menggambar. Parasnya semringah, tak tergurat sedikit pun impiannya untuk menjadi pembom bunuh diri suatu hari nanti, seperti sang ayah dan bunda.

Dua bulan sebelumnya, gadis cilik itu didudukkan oleh sang bunda dan ayah di sepeda motor mereka, yang mencoba menerobos masuk Markas Polrestabes Surabaya untuk meledakkan diri.

Baca Juga: Kencan, Wanita Ini Jatuh dari Tebing Lalu Ditinggal Kekasihnya!

Ayah dan bundanya tewas. Sementara gadis cilik itu selamat. Kekinian, Ayu—bukan nama sebenarnya—disekolahkan oleh negara di kelas khusus anak-anak teroris yang dirahasiakan.

"[Ayu] bahagia sekarang. Dia anak yang pintar," kata sang guru, Sri Musfiah kepada jurnalis kantor berita Australia, ABC.

"Dia bergabung dalam banyak kegiatan. Dia punya banyak teman, dan dia menyapa staf kami setiap kali dia melihat mereka."

Itu adalah perubahan dramatis dari ketika Ayu kali pertama tiba di sekolah rahasia tersebut. Awal bersekolah, Ayu menerima pelajaran meski lengannya masih patah akibat aksi bom bunuh diri orangtuanya.

Ayu sendiri menuturkan, ayah maupun bundanya tak pernah memberitahukan bahwa mereka akan melakukan aksi bom bunuh diri.

Baca Juga: Dana Bansos Jangan Dibelikan Rokok! Yang Miskin Bisa Makin Miskin

Saat diajak orangtuanya mengendari sepeda motor pada hari nahas tersebut, Ayu hanya diberi tahu bahwa mereka akan pergi untuk mengantarkan beras.

Ayu belum mengerti kala itu, bahwa orang tuanya ingin dirinya juga menjadi pelaku bom bunuh diri. Bahkan, seusai kejadian itu, Ayu sempat berpikir ayahnya lah yang menyelamatkannya dari ledakan tersebut.

"Ketika itu terjadi, dia merasa bahwa dia didorong oleh ayahnya. Itu sebabnya dia terlempar dari sepeda," kata Sri.

Sekolah Rahasia

Ayu adalah satu dari 11 anak yang menjalani deradikalisasi di sekolah rahasia tersebut. Salah satu teman sekelasnya, seorang bocah tujuh tahun, kehilangan ayahnya dalam baku tembak dengan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.

Tiga siswa lainnya menjadi yatim piatu, ketika sebuah bom yang dirancang sang ayah secara tidak sengaja diledakkan di apartemen mereka di Surabaya. Insiden itu terjadi pada pada hari yang sama saat Ayu diajak orangtua mengebom markas polrestabes setempat.

Di ruang kelas lain, seorang pembuat bom berusia 16 tahun dan seorang pembom bunuh diri yang juga berusia 16 tahun, belajar bercampur dengan petarung jalanan, pencuri, dan pelacur anak-anak.

Anak-anak pelaku terorisme dianggap sebagai korban di sekolah tersebut. Identitas mereka dirahasiakan, bahkan dari teman sekelas mereka.

"Mereka akan dilihat oleh anak-anak lain sebagai anak yang bermasalah," kata kepala fasilitas tersebut, Neneng Haryani.

"Ini untuk memastikan keselamatan mereka ... anak-anak ini harus tumbuh seperti anak-anak lain, tidak berbeda."

Bangun Kepercayaan

Lokasi sekolah tersebut tetap dirahasiakan. Sejauh ini, 102 anak-anak teroris telah mengenyam pendidikan di sekolah rahasia tersebut. Sebagian besar dari mereka kekinian telah kembali ke lingkungannya masing-masing, setelah menjalani rehabilitasi.

"Yang paling penting di sini adalah proses membangun kepercayaan dengan mereka," kata Neneng.

"Dengan kepercayaan ini, mereka mulai membuka diri, menuangkan isi hati mereka dan mengungkapkan masalah mereka kepada pekerja sosial."

Setelah kepercayaan terbentuk, anak-anak didorong untuk mendengarkan musik, bermain gim dan berteman, kegiatan yang dulu ditolak oleh keluarga mereka.

"Kami mengajarkan mereka fakta tentang Indonesia, yang terdiri dari banyak suku, banyak agama ... [dan itu] kami mengajarkan bahwa mereka  harus bersikap toleran kepada orang lain, meskipun berbeda agama," kata Sri.

Neneng menjelaskan, mayoritas guru di sekolah rahasia itu adalah permepuan, sehingga anak-anak tersebut melihat mereka sebagai figur keibuan.

"Kita harus menciptakan suasana yang hidup. [Ajarkan mereka] untuk mencintai kehidupan dan pergi ke surga tidak berarti Anda harus bunuh diri," katanya.

Hanya dalam waktu dua bulan, program ini tampaknya berhasil diterapkan untuk Ayu.

"Ketika dia ditanya [apa yang diinginkannya] pertama kalinya, dia bilang dia ingin menjadi seorang martir," kata Sri.

"[Sekarang] dia ingin menjadi seorang guru."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI