Suara.com - Enam enam lembaga dan institusi sebagai pihak terkait menolak pembatalan pembatasan masa jabatan Wakil Presiden dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Senin (30/7/2018). Perkara yang tercatat No 60/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dengan pihak terkait Jusuf Kalla (Wakil Presiden).
Pihak terkait yang diwakili kuasa hukumnya dari INTEGRITY (Indrayana Centre for Government Constitution and Society) meminta majelis hakim konstitusi menolak pemohonan pembatalan pembatasan masa jabatan wapres tersebut.
“Kami meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan pemohon PERINDO ataupun Pihak Terkait Jusuf Kalla untuk seluruhnya, karena pasal 169 huruf n dan penjelasannya, maupun pasal 227 huruf i UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945.,” kata Denny Indrayana sebagai kuasa hukum pihak terkait.
Dia berpendapat, MK tidak berwenang mengubah pembatasan masa jabatan wakil presiden dalam UU No 7/2017 tersebut. Yang berwenang untuk mengubah bukanlah MK, tetapi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana kewenangan itu diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.
Baca Juga: Amien Rais: Saya Berharap Ustaz Somad Mau Jadi Cawapres
“MK tidak berwenang melakukan pengujian permohonan a quo, jika dikabulkan (pengubahan frasa pembatasan masa jabatan wapres) akan mengubah Pasal 7 UUD 1945. Karena itu merupakan kewenangan MPR,” ujar dia.
Menurut Denny, pengujian dalam perkara a quo bukanlah menguji Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu saja, tetapi senyatanya permintaan untuk mengubah norma Pasal 7 UUD 1945 agar tidak lagi membatasi masa jabatan wakil presiden yang telah tegas dan jelas diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. Berdasarkan penafsiran gramatikal, norma pembatasan masa jabatan Wakil Presiden di dalam pasal 7 UUD 1945 sudah sangat jelas dan tegas, crystal clear.
Secara gramatikal, tata bahasa, susunan kata dan kalimat, norma yang ada dalam Pasal 7 itu sudah jelas mengatur pembatasan masa jabatan bukan hanya presiden, tetapi juga wakil presiden, karena pada saat dirumuskan telah melibatkan ahli bahasa untuk menghilangkan ketidakjelasan dan rumusan yang ambigu. Yaitu masa jabatan maksimal dua periode atau paling lama sepuluh tahun.
“Dalam hal ketentuan hukum yang sudah terlalu jelas dan tegas demikian berlaku tegas dan jelas demikian berlaku asas hukum “in claris non fit interpretatio”. Artinya, atas suatu ketentuan yang sudah jelas jangan ditafsirkan kembali,” terang dia.
Sementra itu, dengan menggunakan penafsiran historikal, maksud pembatasan jabatan juga berlaku untuk wakil presiden, bukan hanya bagi presiden. Di dalam sejarah perumusannya, semangat yang ada, baik dalam TAP MPR XIII/1998 tetang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden ataupun Perubahan Pertama Pasal 7 UUD 1945, adalah baik presiden maupun wakil presiden tidak dapat menjabat lebih dari dua kali masa jabatan alias paling lama sepuluh tahun, tidak perduli dua kali masa jabatan tersebut berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
Baca Juga: Prabowo: SBY Tak Desak Saya Pilih Kader Demokrat Jadi Cawapres
Kemudian mengacu pada penafsiran original intent, risalah pembahasan perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 (Buku Keempat, Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I, halaman 472 – 486), menegaskan masa jabatan wakil presiden maksimal dua periode, atau paling lama sepuluh tahun, tidak terpengaruh apakah berturut-turut ataupun bersela sekalipun.
“Semua fraksi di MPR mengusulkan pembatasan berlaku bagi keduanya, karena semuanya menggunakan frasa Presiden dan Wakil Presiden,” kata dia.
Dia menambahkan, permohonan sebagai pihak terkait ini semata-mata dilandasi keinginan untuk menegakkan nilai-nilai dasar berkonstitusi serta menyelamatkan masa depan demokrasi, khususnya terkait klausul pembatasan masa jabatan Wakil Presiden.
“Kami tidak ada maksud lain, termasuk pula tidak ada motivasi politik praktis untuk mendukung atau tidak mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu,” tambah dia.
Enam pihak terkait tersebut di antaranya:
- PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM), diwakili oleh Titi Anggraini, S.H., M.H., selaku Direktur Eksekutif Perludem.
- Pusat Pengkajim Pancasila Dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember (PUSKAPSI FH UNEJ), diwakili Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., selaku Direktur.
- PUSAT STUDI KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS (PUSAKO FH UNAND), dalam hal ini diwakili oleh Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M, selaku Direktur Eksekutif.
- PUSAT KAJIAN HUKUM DAN DEMOKRASI (PUSKAHAD FH UNS) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET, dalam hal ini diwakili Dr. Agus Riewanto, selaku Direktur.
- Dr. Jimmy Zeravianus Usfunan, S.H., M.H., Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
- Oce Madril, S.H., M.A.Gov, Dosen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.