Suara.com - Peristiwa kerusuhan 27 juli 1996 alias Kudatuli, telah genap 22 tahun berlalu. Namun, hingga kekinian, dalang kasus penyerangan kantor DPP PDI serta serangkaian pelanggaran HAM lainnya tersebut belum juga terungkap secara jelas.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—yang merupakan metamorfosis PDI Pro-Mega kala itu—mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk kembali membuka penyelidikan kasus tersebut.
Komnas HAM, dulu pernah mengeluarkan laporan mengenai pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Kudatuli di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Dalam laporan akhir Komnas HAM tersebut, terungkap penyerbuan kantor DPP PDI yang kala itu dikuasai massa pro-Megawai Soekarnoputri adalah keputusan Susilo Bambang Yudhoyono.
Baca Juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia U-16 di Piala AFF U-16 2018
SBY kala itu adalah sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya). Ia yang memimpin rapat tiga hari sebelum kejadian, yakni 24 Juli 1996.
Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, yang diserahkan kepada Komisi I dan II DPR RI, pada 26 Juni 2000.
"Merujuk pada tim TGPF Komnas HAM, maka Pak SBY yang bisa buka kebenaran soal TGPF Kudatuli saat itu," kata Eva saat dihubungi Suara.com, Jumat (27/7/2018).
Ia menuturkan, seluruh dokumen tersebut sebenarnya bisa saja digunakan Megawati untuk melibas setiap orang yang kuat diduga terlibat dalam Kudatuli.
Sebab, kala seluruh dokumen itu dibuka untuk publik, Megawati menjabat sebagai Presiden RI.
Baca Juga: Freeport Banyak Makan Korban Jiwa, Luhut : Mati Itu Biasa
“Tapi, waktu itu, Bu Mega tidak sewenang-wenang meski kekuasaan ada di tangannya,” tukasnya.
Karena itulah, Eva meminta Komnas HAM segera menindaklanjuti laporan PDIP pada Kamis (26/7) kemarin, untuk kembali membuka penyelidikan kasus yang menelan ratusan korban jiwa tersebut.
"Harus ada pembukaan kembali kasus untuk menindaklanjuti rekomendasiTGPF terutama mengungkap otak aksi itu, bukan hanya operator. Ini penting untuk para korban yang masih hilang, di mana keluarganya masih menuntut kebenaran seperti juga aktivis mahasiwa yang diculik," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno. Ia mengharapkan ada inisiatif dari Komnas HAM untuk segera kembali membuka kasus pelanggaran HAM tersebut.
"Untuk penjernihan sejarah agar tidak terkontaminasi tarik menarik kepentingan antarpihak. Jangan sampai ada sedimentasi memori yang keruh, distortif dan menyesatkan," pungkasnya.
Kudatuli bermula dari penyerbuan pendukung Soerjadi kekantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakpus, yang kala itu dikendalikan pendukung Megawati Soekarnoputri.
Mega adalah Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya tahun 1993. Ia didaulat menjadi pemimpin periode 1993-1998.
Namun, kubu PDI yang lebih dekat dengan diktator Soeharto kala itu, Soerjadi, membuat kongres tandingan di Medan tahun 1996. Ia terpilih sebagai ketua umum periode 1996-1998. Kongres itu sendiri digelar sebulan sebelum Kudatuli.
Penyerangan kubu Soerjadi terhadap kantor DPP PDI tersebut dilakukan atas bantuan aparat kepolisian dan TNI.
Penyerangan tersebut juga sempat disebut merupakan 'selimut' dari niat pemerintahan Orde Baru yang ingin menggulingkan Megawati.
Berdasarkan dokumen Komnas HAM, peristiwa tersebut merenggut lima nyawa, 149 orang terluka, dan 136 orang ditahan.
Komnas HAM juga menemukan pelanggaran-pelanggaran lain terkait dengan hak asasi manusia pada peristiwa itu. Terutama penculikan aktivis mahasiswa, buruh, dan orang-orang Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dianggap sebagai dalang kerusuhan oleh Soeharto.
Sementara hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan, 5 orang tewas, 149 orang terluka, serta 136 lainnya ditahan dalam Kudatuli.