Karena itulah, Eva meminta Komnas HAM segera menindaklanjuti laporan PDIP pada Kamis (26/7) kemarin, untuk kembali membuka penyelidikan kasus yang menelan ratusan korban jiwa tersebut.
"Harus ada pembukaan kembali kasus untuk menindaklanjuti rekomendasiTGPF terutama mengungkap otak aksi itu, bukan hanya operator. Ini penting untuk para korban yang masih hilang, di mana keluarganya masih menuntut kebenaran seperti juga aktivis mahasiwa yang diculik," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno. Ia mengharapkan ada inisiatif dari Komnas HAM untuk segera kembali membuka kasus pelanggaran HAM tersebut.
"Untuk penjernihan sejarah agar tidak terkontaminasi tarik menarik kepentingan antarpihak. Jangan sampai ada sedimentasi memori yang keruh, distortif dan menyesatkan," pungkasnya.
Baca Juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia U-16 di Piala AFF U-16 2018
Kudatuli bermula dari penyerbuan pendukung Soerjadi kekantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakpus, yang kala itu dikendalikan pendukung Megawati Soekarnoputri.
Mega adalah Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya tahun 1993. Ia didaulat menjadi pemimpin periode 1993-1998.
Namun, kubu PDI yang lebih dekat dengan diktator Soeharto kala itu, Soerjadi, membuat kongres tandingan di Medan tahun 1996. Ia terpilih sebagai ketua umum periode 1996-1998. Kongres itu sendiri digelar sebulan sebelum Kudatuli.
Penyerangan kubu Soerjadi terhadap kantor DPP PDI tersebut dilakukan atas bantuan aparat kepolisian dan TNI.
Penyerangan tersebut juga sempat disebut merupakan 'selimut' dari niat pemerintahan Orde Baru yang ingin menggulingkan Megawati.
Baca Juga: Freeport Banyak Makan Korban Jiwa, Luhut : Mati Itu Biasa
Berdasarkan dokumen Komnas HAM, peristiwa tersebut merenggut lima nyawa, 149 orang terluka, dan 136 orang ditahan.