Suara.com - Seorang perempuan bernama Juniarti (46) memutuskan untuk menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Direktur Utama BPJS. Oleh dokter Juniarti divonis menderita kanker payudara HER2 positif. Lantas, apa hubungannya antara penyakit yang diderita Juniarti dengan gugatannya itu?
Melalui pesan tertulisnya, suami Juniarti, Edy Hayadi bercerita awal mula sakit yang diderita istri tercintanya sampai melayangkan gugatan kepada Jokowi dan Dirut BPJS.
Cerita bermula pada Desember 2017, keluarga melihat ada pembengkakan di leher Juniarti. Hingga akhirnya pada Januari 2018 menggunakan fasilitas BPJS dari kantor suami, Juniarti memeriksakan diri di Puskesmas Duren Sawit, Jakarta Timur.
Oleh Puskesmas, Juniarti diminta dirujuk ke bagian spesialis penyakit dalam RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur.
Baca Juga: Takut Jadi Omongan, Kalina Oktarani Pastikan Lagi Belum Berhijab
Setelah menjalani pemeriksaan, dokter di RSUD Budhi Asih curiga benjolan itu kanker. Karena tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di sana, maka sejak awal Februari 2018, Juniarti dirujuk ke RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur.
Oleh dokter, kemudian dilakukan biopsi, atau pengambilan jaringan pada leher sebelah kanan Juniarti. Ternyata hasilnya positif kanker. Tapi, menurut pemeriksaan laboratrium Patologi Anatomi (PA) RS Persahabatan itu bukan kanker utama melainkan kanker yang sudah metastasis (menyebar). Diduga, sumber utamanya berasal dari payudara.
Untuk memastikan, dokter pun mengirim Hasil PA itu kembali ke bagian lab PA Rumah Sakit Persahabatan untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia atau IHK. Hasilnya, Juniarti dinyatakan penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami metastasis atau penyebaran. Hasil IHK itu keluar 10 Mei 2018.
Setelah operasi pengangkatan payudara sebelah kanan, hasil PA menunjukkan daging di payudara Juniarti memang mengandung tumor ganas. Ia positif menderita kanker payudara HER2 positif metastasis dan berada di stadium 3 B.
Pasca-operasi, Juniarti disarankan menjalani kemoterapi. Pada 24 Juni 2018, dokter pun meresepkan tiga obat kemoterapi dan satu obat yang tergolong terapi target untuk pengobatan kanker payudara HER2 positif, yaitu herceptin atau nama lain trastuzumab.
Baca Juga: Larang Ojek Mangkal, Anies Buat Fasilitas untuk Ojek Online
Untuk diketahui, trastuzumab adalah obat yang aman, bermutu dan berkhasiat yang perlu dijamin aksesbilitasnya dalam rangka pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017.
Di halaman 66 pada poin 43 keputusan itu menyebutkan, bahwa trastuzumab diberikan pada pasien kanker payudara metastatik dengan HER 2 positif (+++) dan wajib dijamin ketersedian obatnya oleh BPJS Kesehatan.
Bermula dari sinilah gugatan Juniarti muncul. Saat suami Juniarti akan mengambil obat trastuzumab, pihak apoteker RS Persahabatan justru menolak resep obat itu. Alasannya, karena sejak 1 April 2018 obat trastuzumab dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan. Obat trastuzumab memang dikenal mahal. Di pasaran, harganya mencapai Rp 25 juta.
Somasi Berujung Gugatan
![Ilustrasi obat. (Sumber: Shutterstock)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2014/05/25/shutterstock_90379069.jpg)
Dalam keterangan lain, melalui tim advokasi trastuzumab, Juniarti dan suaminya sempat melayangkan somasi. Somasi ditujukan kepada Dirut BPJS.
Somasi dilayangkan atas tiga dasar. Pertama, pada tanggal 3 Juli 2018, Juniarti bersama suaminya Edy Haryadi telah menemui Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS, Maya A. Rusady dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis BPJS, Prof. Agus Poerwadianto. Namun keduanya dinilai tidak bisa menjelaskan apa alasan BPJS memberhentikan penjaminan trastuzumab sebagai obat penting bagi penderita kanker payudara HER2 positif.
Kedua, pada tanggal 4 Juli 2018, Juniarti dan Edy Haryadi telah mengirimkan surat melalui e-mail yang berisi permintaan trastuzumab dan kronologi sakit ke alamat e-mail BPJS [email protected] atas permintaan Kepala Humas BPJS, Nopi Hidayat untuk ditindaklanjuti Direksi BPJS. Namun, tidak ada tanggapan maupun kejelasan sama sekali.
Ketiga, pada tanggal 10 Juli 2018, saat Juniarti tengah menjalani kemoterapi pertama tanpa trastuzumab di RS Persahabatan Jakarta Timur, Nopi Hidayat secara lisan melalui telepon Whatsapp mengabarkan kepada Juniarti dan Edy Haryadi bahwa Direksi BPJS menolak memberikan trastuzumab.
Usai somasi itu, digelar pertemuan antara tim advokai trastuzumab dengan 8 orang perwakilan dari BPJS di skretariat tim advokasi trastuzumab di Gedung Graha Pratama, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan pada Senin 23 Juli 2018.
Dari BPJS, turut hadir Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti-fraud Rujukan BPJS Kesehatan Elsa Novelia dan Kepala Humas BPJS Nopi Hidayat. Sementara dari Tim Advokasi Trastuzumab diwakili Rusdianto Matutaluwa, SH, Wahyu Budi Wibowo, SH dan Andre Abrianto Manalu, SH.
Setelah berjam-jam bermusyawarah hingga sore hari. Kedua belah pihak tidak menemukan titik temu. Intinya, pihak BPJS tetap menolak untuk menjamin obat trastuzumab yang diputuskan sejak 1 April 2018.
Karena tidak ada titik temu, Juniarti dan suaminya memutuskan untuk melayangkan gugatan ke pengadilan.
"Bila tidak ada aral melintang, gugatan itu akan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, paling lambat Senin minggu depan," tulis tim advokasi trastuzumab dalam keterangan tertulisnya yang diterima Suara.com, Kamis (26/7/2018) malam.
Presiden Jokowi akan menjadi Tergugat I. Karena sesuai UU BPJS, direksi BPJS bertanggunagjawab pada Presiden RI. Tergugat II adalah Menteri Kesehatan. Kemudian Tergugat III adalah Direktur Utama BPJS. Sedangkan tergugat IV adalah Dewan Pertimbangan Klinis BPJS.