Suara.com - Ketika beragam media sosial mampu masuk nyaris ke setiap lekuk ruang privat setiap orang, tak sedikit yang memanfaatkannya untuk kepentingan tersendiri. Tak terkecuali politik. Bisa jadi, saat seorang tokoh bersorak karena memenangkan pertarungan politik, ada sosok buzzer yang berdiam di baliknya.
Alex tak melulu mengunggah tulisan, meme, atau foto soal politik Indonesia. Ia juga kerap mengunggah tulisan dirinya tengah patah hati, atau foto menu sarapan pagi yang lezat.
Tak ketinggalan, Alex selalu memasang foto-foto menarik milik orang lain pada kolom potret profil akun palsu medsosnya—rata-rata potret perempuan cantik.
Namun, akun-akun palsu miliknya itu dibuat Alex bukan untuk sekadar bersenang-senang di dunia maya.
Baca Juga: TGB Akhirnya Keluar dari Partai Demokrat
"Ini adalah perang," tutur Alex kepada Kate Lamb, jurnalis The Guardian yang menemuinya di Jakarta, dan diterbitkan pada laman daring kantor berita berbasis di Inggris tersebut, Senin (23/7/2018).
“Ketika Anda sedang berperang, Anda menggunakan apa pun yang tersedia untuk menyerang lawan,” kata Alex, di sebuah kafe Jakarta Pusat.
“Tetapi, terkadang, saya merasa jijik kepada diri saya sendiri,” tambahnya.
Beberapa bulan pada tahun 2017, Alex—bukan nama sebenarnya—mengakui menjadi satu dari lebih 20 sosok penting yang tergabung dalam pasukan dunia maya rahasia untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kala itu, Ahok menjadi calon gubernur petahana dalam Pilkada DKI 2017. Alex, bersama buzzer lain bekerja terus menerus mengunggah tulisan, meme, maupun foto berisi pesan agar publik kembali memilih Ahok. Tentunya, kesemua itu diunggahnya ke akun-akun palsu.
Baca Juga: Tiket Upacara Pembukaan Asian Games Telah Terjual 20 Persen
Buzzer adalah sebutan bagi seseorang yang bekerja seperti Alex. Lazimnya, Buzzer diartikan sebagai pengguna media sosial dengan pengikut berjumlah paling sedikit 2.000 orang. Mereka dibayar untuk mempromosikan barang atau sosok tertentu lewat rangkaian tulisan yang diunggah.
"Mereka mengatakan kepada kami, bahwa Anda harus memiliki lima akun Facebook, lima akun Twitter dan satu Instagram. Mereka mengatakan, semua itu harus dirahasiakan," katanya.
"Mereka mengatakan saat itu adalah 'perang' dan kami harus menjaga medan perang, serta tidak memberi tahu siapa pun tentang tempat kami bekerja.”
Pada Pilkada DKI 2017, Ahok bersanding dengan calon wakilnya, Djarot Saiful Hidayat. Ahok kala itu harus melawan dua rival yang terbilang keras berat dalam dunia politik.
Pertama, ada Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua, ada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang juga didukung seteru politik Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto.
Ahok juga harus menghadapi serangan mengenai dugaan menodai agama. Ia juga mendapat serangan diskriminasi berbasis rasialisme. Puncaknya, sejumlah kelompok anti-Ahok menggelar demonstrasi besar-besaran dengan mengatasnamakan agama.
Mereka mendesak pengadilan menyatakan Ahok bersalah dalam kasus penodaan agama—kelak, vonis hakim memutusnya bersalah dan Ahok diganjar 2 tahun penjara.
Pesan bahwa Ahok adalah orang yang menodai agama, dipromosikan secara besar-besaran di media-media sosial. Gerakan klandestin berbasis medsos bernama Muslim Cyber Army (MCA), menjadi motor kampanye tersebut.
Sama seperti Alex, MCA juga adalah buzzer yang membuat ratusan akun medsos palsu dan anonim untuk menyebar pesan Ahok-penoda-agama. MCA juga yang menyebar pesan agar publik tak lagi memilih Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
"Saya dan yang lain, bekerja sebaliknya. Kami dipekerjakan untuk melawan sentimen anti-Ahok itu di media-media sosial. Termasuk membuat tagar kritik terhadap kandidat lawan," tuturnya.
Ia mengungkapkan, timnya terdiri dari pendukung Ahok dan mahasiswa yang terpikat oleh bayaran Rp 4.134.000 per bulan.
Mereka, diduga bekerja di salah satu rumah mewah di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
"Setiap hari, masing-masing kami mengunggah 60 sampai 120 bahan di akun palsu Twitter dan Facebook," terangnya.
'Pasukan khusus'
Indonesia masuk dalam lima besar negara pengguna Twitter dan Facebook terbesar secara global. Karenanya, menjadi buzzer cukup menjanjikan keuntungan ekonomis yang terbilang mudah didapat seseorang.
”Tim saya sendiri terdiri dari 20 orang. Masing-masing bekerja menjalankan 11 akun media sosial dan menghasilkan 2.400 unggahan di Twitter per hari,” jelasnya.
Alex dan yang lain digerakkan oleh tim di atasnya melalui grup WhatsApp bernama “Pasukan Khusus”. Alex memperkirakan, anggota “Pasukan Khusus” itu berjumlah 80 orang.
“Pasukan Khusus itulah yang memberikan pasokan konten dan tagar harian untuk kami promosikan di Twitter maupun Facebook,” ungkapnya.
Satu peraturan yang tak boleh dilanggar Alex Cs, yakni tidak boleh memakai akun anonim. “Pasukan Khusus” meminta mereka mencomot foto-foto orang lain untuk dijadikan potret profile akun palsu.
“Kami mengambil foto-foto itu dari Google. Terkadang kami mengambil milik teman kami sendiri, atau foto dari grup Facebook maupun WhatsApps. Mereka juga berpesan, menggunakan foto perempuan cantik untuk menarik perhatian pengikut,” akunya.
Bahkan, di akun palsu Facebook milik Alex Cs, juga mengambil foto-foto artis luar negeri sehingga terkesan mereka adalah fans berat Ahok.
”Kami bekerja di Menteng. Tempat yang aman untuk beroperasi. Di rumah Menteng itu ada pembagian ruangan. Ruangan depan, berisi buzzer yang menyebar konten positif tentang Ahok. Tapi di balik ruangan itu, ada kami, penyebar konten negatif tentang lawan Ahok,” tukasnya.
Banyak akun palsu milik mereka sebenarnya hanya mendapat pengikut sedikit, yakni dalam jumlah ratusan warganet. Tapi, mereka juga memanfaatkan tagar yang tengah populer di Twitter setiap hari, untuk meningkatkan visibilitas unggahan mereka.
Fenomena menggunakan tagar yang tengah populer untuk berpropaganda soal politik, pernah menjadi fokus perhatian Pradipa Rasidi, aktivis Transparency International di Indonesia.
"Awalnya, kalau dilihat, tulisan-tulisan yang memakai tagar nonpolitik tapi tengah trending di Twitter hari itu, tampak normal. Tapi kemudian mereka terus membanjiri tulisan tentang politik,” terangnya.
Ahli strategi kampanye media sosial yang pernah bekerja untuk lawan Ahok pada Pilpada DKI 2017 juga mengatakan, buzzer adalah industri besar.
“Beberapa orang dengan akun berpengaruh dibayar sekitar Rp 20 juta hanya untuk satu tweet. Atau jika Anda ingin menjadi trending topik selama beberapa jam, itu harganya antara Rp 1 juta sampai Rp 4 juta,” kata orang yang hanya ingin diidentifikasi nama depannya, Andi.
Bekerja untuk pemerintah
Pemerintah Indonesia telah membuat gebrakan untuk memberangus akun-akun medsos penyebar hoaks maupun ujaran kebencian. Tapi buzzer, yang beroperasi di “daerah abu-abu”, sebagian besar lolos dari pemblokiran tersebut.
Alex menyebut banyak buzzer yang disewa oleh politikus lain, termasuk rekan-rekannya yang dulu bekerja untuk Ahok.
Bahkan, seperti diberitakan The Guardian, pemerintah pusat tampaknya menggunakan taktik seperti itu. Akun Twitter @IasMardiyah, misalnya, yang dikatakan Alex dimanfaatkan oleh tim buzzer pro-Ahok-nya, sekarang mengunggah pesan-pesan propaganda untuk Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Kebanyakan, tulisan yang diunggah akun itu tentang keberhasilan pembangunan infrastruktur dan diplomatik Indonesia, atau mengenai perlindungan persatuan nasional.
Namun, seorang juru bicara kepresidenan saat dimintakan komentar oleh The Guardian, tidak menanggapi.
Ulin Yusron, yang dulu menjadi juru bicara tim kampanye Ahok, menolak mengomentari tuduhan tertentu. Tapi ia mengatakan, masa-masa kampanye pilkada dulu sangat sulit.
"Penggunaan fitnah, ujaran kebencian dan hoaks sangat besar,” katanya kepada Guardian.
“Secara alami, tim membentengi diri dengan pasukan pendukung, termasuk di media sosial. Itu bukan sesuatu yang baru dalam politik. ”