Secara terpisah kepada wartawan, Syafruddin mengatakan, keputusan KKSK 7 Oktober 2002 itulah yang dia laksanakan. Dia menagih Rp 428 miliar kepada Sjamsul Nursalim, termasuk mengambil 12 perusahaan milik Sjamsul Nursalim.
“Lalu kita laporkan pada 17 Maret (2004), semua diteliti oleh TBH, TPBH, Oversight Commitee, sudah selesai. Karena sudah selesai maka KKSK memutuskan kepada BPPN, terbitkan SKL. Jadi saya menerbitkan SKL atas keputusan KKSK,” kata Sjafruddin.
Mengapa Syafruddin tidak melaporkan misrepresentasi? Menurut dia, hal itu bukan kewenangannya.
“Pak Boed (Boediono) benar, bahwa itu bukan tugas saya. Tapi KKSK memerintahkan TBH, TPBH, OC yang mengevaluasi. Hasil evaluasi itulah yang jadi pegangan KKSK.”
Jadi pada saat keputusan KKSK 7 Oktober 2002 itu, lanjut Sjafruddin, kewajiban Sjamsul Nursalim belum selesai yakni penyerahan aset 12 perusahaan dan kekurangan Rp 428 miliar.
“Selama Oktober 2002 sampai Desember 2003 itu BPPN menyelesaikan, dan dilaporkan ke KKSK, lalu KKSK memerintahkan TBH, TPBH, OC untuk mengkaji, dan keputusannya, terbitkan (SKL),” ujarnya.
Syafruddin juga menyatakan dasar lain penerbitan SKL adalah Keputusan Menteri BUMN selaku atasan langsung pada 17 Maret 2004.
Mengenai utang petambak, Syafruddin mengakui adanya hapus buku sehingga jumlahnya menjadi Rp 1,1 triliun.
“Tapi dia tidak hapus tagih karena penjaminan intinya, Dipasena masih ada. Berapapun sisanya akan dibayar oleh perusahaan inti. Inti Dipasena inilah yang diambil dan dikuasai BPPN sehingga restrukturisasi dan revitalisasi gampang. Ini yang diserahkan ke Menteri Keuangan dan PPA,” ujarnya.
Dengan demikian pada 27 Februari 2004, utang petambak Rp 4,8 triliun dan perusahaan inti Dipasena senilai Rp 19,9 triliun, sudah diserahkan ke Menteri Keuangan.