Suara.com - Advokat senior Todung Mulya Lubis mengakui bahwa pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi utang PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Tugas tim bantuan hukum (UBH) adalah melihat kepatuhan dari obligor dan merekomendasikan upaya-upaya hukum yang bisa diambil oleh pihak BPPN, dan saat melaporkan ke KKSK kami melaporkan ada misrepresentasi obligor Sjamsul Nursalim karena keberadaan utang Dipasena yang tidak dijelaskan sebagai utang 'outstanding'," kata Todung Mulya Lubis dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Todung diperiksa sebagai saksi untuk Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004 Syafruddin Arsyat Temenggung menjadi terdakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik Bank Dagang Negarai Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
Todung adalah anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) yang dibentuk berdasarkan SK KKSK pada 2002. TBH beranggotakan para pengacara dibantu dengan dua orang staf BPPN yang melakukan "review" kepatuhan pembayaran obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca Juga: Cerita Pertama Kali Putri Denada Diketahui Idap Leukemia
Saat TBH bekerja juga dibantu oleh konsultan-konsultan hukum, dan secara khusus saat me-"review" BDNI TBH dibantu oleh kantor hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS).
"Fakta adanya utang outstanding bahwa tidak mendapat informasi bahwa utang petambak itu macet sudah merupakan fakta yang tidak kami lakukan penelusuran lebih jauh karena sudah dilakukan oleh LGS. Mereka kerja di 'data room' dan kami mendapat informasi laporan LGS dan karena kami sepakat mengenai hal itu dan mengadopsi laporan itu," ungkap Todung.
Setelah mengetahui Sjamsul melakukan misrepresentasi maka TBH merekomendasikan untuk membawa masalah itu ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) hingga ke kepolisian dan kejaksaan agung.
"Pada 29 Mei 2002 kami sudah menyerahkan laporan hukum dan kepatuhan, kalau ada rapat KKSK pada 2004 saya sama sekali tidak tahu dan saya tidak tahu apakah anggota TBH lain tahu hal itu," tambah Todung.
BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
Baca Juga: Polisi Periksa 5 Saksi Pelemparan Bom Molotov di Rumah Mardani
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun "letter of credit".
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp 4,8 triliun itu, sejumlah Rp 1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp 3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun, berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp 1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagihmenjadi Rp 1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp 3,9 triliun dengan kurs Rp 8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp 2,8 triliun.
Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp 100 juta/petambak dikalikan11 ribu petambak dari tadinya utang Rp 135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp 220 miliar karena Rp 880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp 80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp 4,8 triliun menjadi tinggal Rp 220 miliar atau negara dirugikan R p4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI. (Antara)