Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp 4,8 triliun itu, sejumlah Rp 1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp 3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun, berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp 1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagihmenjadi Rp 1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp 3,9 triliun dengan kurs Rp 8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp 2,8 triliun.
Baca Juga: Cerita Pertama Kali Putri Denada Diketahui Idap Leukemia
Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp 100 juta/petambak dikalikan11 ribu petambak dari tadinya utang Rp 135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp 220 miliar karena Rp 880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp 80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp 4,8 triliun menjadi tinggal Rp 220 miliar atau negara dirugikan R p4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI. (Antara)