Suara.com - Selagi negara, kaum dewasa, dan para pengambil kebijakan disibukkan oleh peperangan, hal yang tersisa bagi kaum belia khususnya kanak-kanak adalah warisan ketidaknyamanan. Hal ini terjadi di Sudan Selatan. Setiap tiga dari empat anak di Sudan Selatan kenal perang.
Dunia mereka mestinya penuh ceria, canda-tawa dan berkelimpahan kasih sayang, namun kenyataannya adalah pemandangan berdarah ditambah suara ledakan menjadi bagian dari keseharian. Tak terelakkan, setiap tiga dari empat anak di Sudan Selatan kenal perang.
Dana Anak PBB atau UNICEF di New York, Amerika Serikat menyatakan pada Senin (09/07/2018) bahwa Sudan Selatan sebagai negara termuda di dunia yang merdeka pada 2011 mengalami perang saudara sejak 2013. Komposisi penduduknya, tiga perempat dari total jumlahnya lahir dalam masa perang. Atau dari 3,4 juta bayi, sebanyak 2,6 juta-nya adalah produk dari masa tidak aman.
"Di usia tujuh tahun, jutaan anak Sudan Selatan telah melihat peperangan yang tampaknya tiada pernah berakhir, serta menjadikan hidup mereka porak-poranda. Perbandingannya, tiga dari empat anak mengenal perang," tukas Henrietta Fore, Direktur Pelaksana UNICEF yang mengunjungi negara itu di awal 2018.
Baca Juga: Deretan Aksi Kejahatan Penjambret yang Tewaskan Penumpang Ojol
Akibat konflik dan situasi tidak aman, maka anak-anak ini juga mengalami keterbelakangan dalam mengenal dunia luar, dibandingkan teman-teman seusia dari negara-negara bebas peperangan. Mereka tidak bersekolah, kekurangan gizi, rentan terhadap penyakit, bahkan mengalami pelecehan serta eksploitasi anak.
Sebanyak 19 ribu anak telah direkrut menjadi tentara belia, pengirim pesan atau the messenger, dan sebagai kuli, dengan derita mengalami pelecehan seksual serta kekerasan. Hanya 800 anak di luar jumlah ini yang berhasil dibebaskan oleh kelompok bersenjata sekitar Januari 2018.
Sementara angka kekurangan gizi pada anak-anak mencapai satu juta, dan 300.000 di antaranya berada di ambang kematian. Dan jumlah yang sudah diungsikan mencapai lebih dari 2,5 juta dimulai dari 2013.
Ditilik dari sisi pemberian bantuan kemanusiaan, lebih dari 100 pekerja kemanusiaan dan relawan tewas dalam kerusuhan peperangan bersaudara di Sudan Selatan sejak 2013. Termasuk di antaranya adalah seorang pengemudi dari UNICEF, yang terjadi sekitar dua pekan lalu.
"Harapan kami, para pemimpin dan komandan yang telah mengadakan penandatanganan kesepakatan genjatan senjata baru-baru ini bisa terus konsisten dengan putusan mereka," kata Fore.
Baca Juga: Kobaran Api Membakar 39 Kapal Nelayan di Pelabuhan Benoa Padam
Hal ini penting, lanjutnya, "Karena dengan hadirnya perdamaian, mereka bisa menjamin para pekerja kemanusiaan seperti UNICEF agar diberi akses seluas-luasnya untuk menolong siapa saja yang memerlukan, termasuk anak-anak sebagai prioritas."