Suara.com - Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani menyatakan, secara deformasi, pasca-mengalami erupsi dalam sepekan terakhir, tubuh Gunung Agung di Bali mengalami trend deflasi seiring dengan berkurangnya tekanan fluida magmatik di dalam tubuh gunung api tersebut.
"Pola deformasi meskipun cenderung deflasi. Erupsi dapat terjadi pada saat pembangunan tekanan (inflasi) maupun pada fase penurunan tekanan (deflasi). Data deformasi masih mengindikasikan aktivitas Gunung Agung belum stabil dan masih rawan untuk terjadi erupsi," kata Kasbani, Rabu (4/7/2018).
Sedangkan secara geokimia, gas magmatik SO2 masih terekam dengan fluks masih relatif tinggi. Pada 3 Juli 2018, fluks SO2 dalam kisaran 1400-2400 ton per hari. Kemudian pada 4 Juli, flux SO2 dalam kisaran 400-1500 ton per hari.
Dia menjelaskan, untuk citra satelit termal mengindikasikan aktivitas erupsi efusif masih berlangsung dengan volume pertumbuhan kubah lava pada kisaran 4-5 juta meter kubik dalam satu minggu terakhir ini.
Baca Juga: Terjerat Kasus Suap, Anggota DPRD Sumut Resmi Ditahan KPK
"Volume kubah lava lama berkisar 23 juta meter kubik, sehingga volume total kubah lava 2017-2018 sekitar 50 persen dari volume kosong kawah," paparnya.
Secara visual, aktivitas permukaan masih didominasi oleh kejadian erupsi maupun hembusan. Erupsi Gunung Agung yang terjadi bersifat efusif yakni berupa aliran lava ke dalam kawah maupun eksplosif yaitu berupa lontaran batu atau lava pijar maupun pasir dan abu. Penyebaran abu ke arah barat mengikuti arah angin.
Erupsi Strombolian terbesar terjadi pada 2 Juli 2018 pukul 21.04 WITA disertai suara dentuman dengan kolom abu tebal setinggi 2.000 meter di atas puncak serta lontaran batu atau lava pijar keluar area kawah secara radial sejauh 2 kilometer dari kawah Gunung Agung.
"Ancaman bahaya yang dapat membahayakan jiwa secara langsung seperti lontaran batu atau lava pijar masih terlokalisir di dalam radius 4 kilomter," kata dia.
Kasbani menerangkan, secara seismik, aktivitas Gunung Agung masih didominasi oleh gempa-gempa dengan konten frekuensi rendah yang mencerminkan adanya aliran fluida menuju ke permukaan yaitu berupa Gempa Low Frequency, Gempa Hembusan dan Gempa Letusan.
Baca Juga: Berpotensi Rugikan Negara, DPRD Soroti Temuan BPK di Pemprov DKI
Kegempaan frekuensi tinggi yang mencerminkan peretakkan batuan di dalam tubuh gunung akibat pergerakan magma baru masih terekam dengan intensitas relatif rendah yaitu berupa Gempa Vulkanik (Dalam maupun Dangkal) dan Gempa Tektonik Lokal.
Dominannya kegempaan dengan konten frekuensi rendah dibandingkan dengan konten frekuensi tinggi mencerminkan bahwa aliran fluida magmatik ke permukaan relatif lancar karena sistem cenderung terbuka.
"Gunung Agung masih rawan untuk terjadi erupsi baik secara eksplosif (strombolian maupun abu) dan efusif (aliran lava ke dalam kawah). Data pemantauan multi-metode terkini mengindikasikan bahwa potensi untuk terjadinya erupsi besar yang disertai awan panas masih belum teramati. Aktivitas Gunung Agung masih berada dalam kondisi yang dinamis dan trend aktivitas dapat berubah sewaktu-waktu," terang Kasbani.
Melihat kondisi itu, Kasbani tetap merekomendasi agar warga di sekitar Gunung Agung agar tidak berada atau beraktivitas di Zona Perkiraan Bahaya yakni di dalam area kawah Gunung Agung dan di seluruh area dalam radius 4 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung.
Ia menambahkan, mengingat masih adanya potensi ancaman bahaya abu vulkanik dan mengingat abu vulkanik dapat mengakibatkan gangguan pernapasan akut (ISPA). Maka diharapkan warga, terutama yang bermukim di sekitar Gunung Agung senantiasa menyiapkan masker penutup hidung dan mulut maupun pelindung mata sebagai upaya antisipasi potensi ancaman bahaya abu vulkanik. (Luh Wayanti)