Dalam surat tersebut, Jaksa Agung menyatakan perlu adanya kearifan dan kebijaksanaan pemerintah dengan memperhatikan situasi moneter dan perekonomian nasional saat itu yang menyebabkan debitur tidak mungkin menyelesaikan pembayaran atau pengembalian secara tunai. Penilaian aset yang diserahkan juga diminta ditangani secara arif dan bijaksana sehingga dapat dihindari tindakan yang tidak menguntungkan perekonomian nasional.
Selain itu diungkapkan pula bahwa dalam Rapat Koordinasi Bidang Pengawasan Pembangunan tanggal 21 Agustus 1998 yang memutuskan penyelesaian kewajiban pemegang saham BBO/BTO dilakukan melalui jalur komersial atau di luar pengadilan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar penjelasan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara Suhanjono yang antara lain menyatakan bahwa proses hukum atas dugaan pelanggaran BMPK akan berjalan lama dan tidak jelas tingkat pengembalian komersialnya.
Dalam dokumen audit tersebut juga terungkap bahwa Finansial Advisor BPPN melalui memo tertanggal 15 Maret 1999 kepada Ketua BPPN yang menyatakan bahwa saldo kredit kepada petani tambak udang sebesar Rp 4,8 triliun dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmaja melalui pola Tambak Inti Rakyat (TIR) khusus yang didukung oleh Pemerintah melalui Bank Indonesia dan bank-bank lain yang ditunjuk.
Disampaikan dalam memo tersebut kredit kepada petani tambak dikategorikan sebagai kredit tidak terkait karena kekhususannya, yaitu bahwa kredit tersebut diberikan kepada petani plasma, yang merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka pemberdayaan petani tambak, dengan komponen pond buy back sebagai jaminan.
Baca Juga: Laporan Keuangan Kementerian PUPR 2017 Dapat Opini WTP dari BPK