Suara.com - Melesetnya hasil survei elektabilitas oleh lembaga survei pemilu dengan hasil quick count (exit poll) antara paslon Ganjar Pranowo - Taj Yasin dengan Sudirman Said - Ida Fauziyah turut mewarnai dalam Pilgub Jateng 27 Juni 2018 kemarin.
Hampir semua lembaga survei menempatkan hasil elektabilitas sebelum pemilihan untuk paslon Ganjar - Yasin unggul di atas 60 persen, berbanding jauh dengan penantangnya Sudiman - Ida yang mengantongi hanya 20 persen saja. Namun, dari hitung cepat (quick count) mereka sendiri, usai pencoblosan hanya selisih sedikit di angka 10 persen (60 - 40 persen).
Jomplangya nilai elektabilitas itu menjadi pertanyaan besar, apakah presisi survei itu sudah kredibel? Pengamat politik sekaligus Dosen FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, Joko J. Prihatmoko, memiliki penilaian tersendiri.
"Melesetnya hasil survei Pilgub Jateng tidak hanya terjadi pada Pilgub 2018. Pada Pilgub 2013, hal yang sama dilakukan. Parahnya, kesalahan itu dilakukan beberapa lembaga survei yang sama, yang sangat terkenal di Indonesia," kata Joko saat dihubungi, Minggu (1/7/2018).
Baca Juga: Diikuti Satu Paslon, Pilkada Paniai Belum Bisa Dilaksanakan
Menurut Joko, lembaga survei itu harus berpikir bahwa hasil survei sebelum pemilihan bisa jadi akan menjadi rujukan masyarakat dalam menilai para kandidat. Edukasi demokrasi, menurutnya, bisa berawal dari situ.
Memang, diakui Joko, lembaga survei telah bekerja dengan memegang prinsip-prinsip ilmiah, khususnya metodologi riset. Kendati demikian, tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) terkait batasan sampling dan sebaran, serta belum adanya asosiasi lembaga riset, beresiko hasilnya terlalu subyektif.
"SOP memang belum ada, hanya berpangku pada metodologi riset," tuturnya.
Fatalnya, hasil survei sebelum pemilihan berpeluang memiliki power menggiring opini masyarakat untuk 'terpaksa' memilih kandidat dalam karung.
"Mereka (lembaga survei) mengabaikan etika. Mereka tidak peduli dengan pembangunan demokrasi. Mereka tidak sedang bermaksud mengedukasi (politik) masyarakat," kata Joko.
Baca Juga: Kasper Schmeichel Man Of The Match di Laga Kroasia vs Denmark
Joko melanjutkan analisisnya, bahwa melesetnya hasil elektabilitas itu dikarenakan, pertama, tidak ada kode etik hubungan atau kerjasama lembaga-lembaga dari Jakarta dan dari daerah.
Kedua, tidak ada asosiasi lembaga survei yang sehat dan profesional, yang bisa mengikat dan memandu etika mereka. Kalaupun ada asosiasi, kata Joko, hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
"Yang paling nampak dari itu adalah mereka (lembaga yang sama) melakukan survei Pemilu (Pilgub) lalu memplublikasinya dan melakukan survei exit poll dan mempublikasikan juga, yang biasa disebut quick count," jelasnya.
Karena tidak ada aturan itu, kata Joko, mereka bebas menjadikan hasil survey sebagai iklan paslon yang memesannya. Sedangkan publikasi hasil survei exit poll digunakan untuk menutup kesalahan dan ketidakvalidan survei terdahulu, plus untuk iklan lembaga itu sendiri.
"Itu cara jahat memanipulasi opini," tandasnya.
Seharusnya, disampaikan Joko, tidak dibolehkan survei dan exit poll dilakukan lembaga yang sama. Dengan cara itu, menjadikan hasil survei yang tidak valid dan akurat alias asal-asalan ditutup dengan survei exit poll.
"Hasil survei exit poll hampir selalu valid karena dilakukan terhadap pemilih setelah menggunakan hak pilih. Sungguh, itu kejahatan demokrasi dengan cara memanipulasi opini" tandasnya kembali.
Untuk itu, menjadi catatan untuk pemilu 2019 mendatang, Joko mengharapakan para lembaga survei pemilu membuat kode norma atau aturan bersama yang mengatur relasinya dengan user (paslon, pengusaha dll), masyarakat, dan lembaga survei di daerah.
"Lembaga survei harus bisa menjadi pilar edukasi demokrasi dalam masyarakat," katanya.
Joko juga menyarankan, harus ada larangan lembaga yang sama melakukan survei Pemilu (pra pemungutan suara) dan survey exit poll. "Jika itu masih terjadi pada Pemilu 2019, maka itu cara liar memanipulasi persepsi masyarakat kembali. Itu kejahatan demokrasi," tukasnya.
Diinformasikan sebelumnya, hasil survei sebelum pemilihan, menurut LSKP-LSI, elektabilitas pasangan Ganjar Pranowo - Taj Yasin memperoleh 54,0 persen, sedangkan Sudirman Said - Ida Fauziyah memperoleh 13,0 persen.
Survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas pasangan sebelum pemilihan Ganjar Pranowo - Taj Yasin sebesar 76,6 persen, sedangkan keterpilihan Sudirman Said-Ida Fauziyah didapat 15 persen.
Survei harian PDIP oleh Pandawa Research mencatat Ganjar - Yasin meraih 74,5 persen suara dan Sudirman - Ida 25,5 persen.
Semua perhitungan hasil itu meleset, di mana hampir semua lembaga survei usai pemilihan pada Rabu (27/6/2018), mencatat quick count (exit poll) Ganjar Pranowo - Taj Yasin 59 persen dan Sudirman Said - Ida Fauziyah 41 persen. (Adam Iyasa)