Analisis Pakar Soal Hasil Survei yang Meleset dengan Quick Count

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 02 Juli 2018 | 06:30 WIB
Analisis Pakar Soal Hasil Survei yang Meleset dengan Quick Count
Ganjar Pranowo. (Suara.com/Adam Iyasa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Melesetnya hasil survei elektabilitas oleh lembaga survei pemilu dengan hasil quick count (exit poll) antara paslon Ganjar Pranowo - Taj Yasin dengan Sudirman Said - Ida Fauziyah turut mewarnai dalam Pilgub Jateng 27 Juni 2018 kemarin.

Hampir semua lembaga survei menempatkan hasil elektabilitas sebelum pemilihan untuk paslon Ganjar - Yasin unggul di atas 60 persen, berbanding jauh dengan penantangnya Sudiman - Ida yang mengantongi hanya 20 persen saja. Namun, dari hitung cepat (quick count) mereka sendiri, usai pencoblosan hanya selisih sedikit di angka 10 persen (60 - 40 persen).

Jomplangya nilai elektabilitas itu menjadi pertanyaan besar, apakah presisi survei itu sudah kredibel? Pengamat politik sekaligus Dosen FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, Joko J. Prihatmoko, memiliki penilaian tersendiri.

"Melesetnya hasil survei Pilgub Jateng tidak hanya terjadi pada Pilgub 2018. Pada Pilgub 2013, hal yang sama dilakukan. Parahnya, kesalahan itu dilakukan beberapa lembaga survei yang sama, yang sangat terkenal di Indonesia," kata Joko saat dihubungi, Minggu (1/7/2018).

Baca Juga: Diikuti Satu Paslon, Pilkada Paniai Belum Bisa Dilaksanakan

Menurut Joko, lembaga survei itu harus berpikir bahwa hasil survei sebelum pemilihan bisa jadi akan menjadi rujukan masyarakat dalam menilai para kandidat. Edukasi demokrasi, menurutnya, bisa berawal dari situ.

Memang, diakui Joko, lembaga survei telah bekerja dengan memegang prinsip-prinsip ilmiah, khususnya metodologi riset. Kendati demikian, tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) terkait batasan sampling dan sebaran, serta belum adanya asosiasi lembaga riset, beresiko hasilnya terlalu subyektif.

"SOP memang belum ada, hanya berpangku pada metodologi riset," tuturnya.

Fatalnya, hasil survei sebelum pemilihan berpeluang memiliki power menggiring opini masyarakat untuk 'terpaksa' memilih kandidat dalam karung.

"Mereka (lembaga survei) mengabaikan etika. Mereka tidak peduli dengan pembangunan demokrasi. Mereka tidak sedang bermaksud mengedukasi (politik) masyarakat," kata Joko.

Baca Juga: Kasper Schmeichel Man Of The Match di Laga Kroasia vs Denmark

Joko melanjutkan analisisnya, bahwa melesetnya hasil elektabilitas itu dikarenakan, pertama, tidak ada kode etik hubungan atau kerjasama lembaga-lembaga dari Jakarta dan dari daerah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI