Suara.com - Terdakwa kasus dugaan merintangi penyidikan kasus e-KTP Fredrich Yunadi mengaku pasrah dengan vonis majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang akan dibacakan pada hari ini.
Dia menuding sistem peradilan saat ini sudah diatur sedemikian rupa, sehingga melahirkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Ya kita tidak bisa mengharapkan apa-apa, karena kalau lihat sistem sudah diset (setting), kelihatan sesuatu kalau kita bilang KKN," katanya di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (28/6/2018).
Dia hanya berharap agar keadilan terhadap dirinya tetap ada. Sebab, baik dia dan tim kuasa hukumnya sudah menyampaikan pledoi atau nota pembelaan.
"Kita belum tahu bagaimana keputusan hakim. Karena hakim sudah mendengarkan jaksa dan pleidoi dari saya, sekarang kita menunggu. Mudah-mudahan masih ada keadilan," katanya.
Sebelumnya, Fredrich Yunadi dituntut hukuman maksimal selama 12 tahun penjara oleh jaksa KPK. Selain itu, mantan penasihat hukum Novanto ini juga dikenakan denda Rp 600 juta dengan subsider kurungan enam bulan.
Jaksa menilai Fredrich terbukti telah mengkondisikan agar Novanto mendapat perawatan di RS Medika Permata Hijau.
Ia meminta tolong kepada dokter Bimanesh Sutardjo untuk membantu skenario perawatan mantan Ketua DPR RI tersebut. Hal itu dilakukan agar Novanto tidak bisa diperiksa oleh penyidik KPK.
Jaksa memandang Fredrich melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.