Suara.com - Pengadilan banding di Sudan akhirnya membatalkan hukuman mati terhadap perempuan berusia 19 tahun bernama Noura Hussein, yang membunuh suami sendiri karena memerkosanya. Hukuman mati itu sendiri sebelumnya memicu amarah komunitas internasional.
Dalam pengadilan yang digelar pada Selasa (26/6) pekan ini, majelis hakim pengadilan banding akhirnya hanya memvonis Noura hukuman penjara selama 5 tahun karena menikam suaminya, Abdulrahman Mohamed Hammad, hingga tewas.
Selain penjara 5 tahun, seperti diberitakan New York Times, Kamis (28/6/2018), Noura diminta membayar denda 337 ribu Pound Sudan sebagai ‘uang darah’ kepada keluarga lelaki itu.
Namun, tim pengacara Noura memutuskan untuk kembali mengajukan upaya hukum agar kliennya terbebas dari semua tuduhan.
Baca Juga: Jaksa Harap Fredrich Yunadi Divonis Hukuman Maksimal
“Klien kami menikam suaminya sebagai tindakan mempertahankan diri. Melakukan pembelaan diri atas pemerkosaan, sehingga ia harus diposisikan sebagai korban, bukan pelaku pembunuhan. Noura harus bebas,” tegas tim pengacaranya.
Bulan Juni lalu, pengadilan menghukum mati Noura dengan cara digantung setelah diputus bersalah membunuh suami.
Putusan pengadilan itu memicu kemarahan kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia dan perempuan di Sudan maupun internasional.
Kelompok-kelompok tersebut menegaskan, Noura adalah korban sistem perkawinan paksa feodal yang masih marak di Sudan.
Sistem hukum negara itu juga dikecam karena tidak mengakui pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai bentuk kejahatan.
Baca Juga: Detik-detik Mobil Karyawan JICT Ditembak Pelaku Misterius
Noura dipaksa menikahi Hammad ketika berusia 16 tahun. Dia diperkosa Hammad setelah menolak berhubungan seks dengannya setelah upacara pernikahan.
Sementara petisi melalui laman daring untuk mendesak pembebasan Noura telah ditandatangani oleh 1,4 juta orang. Sedangkan kampanye #JusticeForNoura telah menarik dukungan dari seluruh dunia melalui media-media sosial.
"Noura Hussein adalah korban serangan brutal oleh suaminya, dan hukuman penjara lima tahun karena bertindak membela diri adalah hukuman yang tidak sepadan," tegas Seif Magango, Wakil Direktur Regional Amnesty International untuk Afrika Timur.
Ia mengungkapkan, di Sudan, satu dari tiga gadis dipaksa menikah sebelum berusia 18 tahun berdasarkan data Unicef tahun 2017.
Sementara undang-undang Sudan yang mengatur pribadi warganya yang beragama Islam, mengizinkan anak perempuan berusia 10 tahun untuk dinikahkan kalau wali mereka mendapat izin dari hakim.
“Di bawah undang-undang patriarkis yang diperkenalkan pada tahun 1991 itu, perkosaan dalam pernikahan tidak dianggap perkosaan dan oleh karena itu bukan kejahatan,” terangnya.