Suara.com - Masa itu memar//Bagai lebam Titania//Yang diculik kenyataan//Menjadi budak takdir//Dipaksa membangun menara duka..... (Fitri Nganthi Wani—Bekas Luka Berkabar)
Petikan puisi itu merupakan salah satu karya Fitri Nganthi Wani, putri sulung sang penyair et aktivis reformasi 1998 yang kekinian masih dinyatakan hilang diculik, Wiji Thukul.
Pada hari Jumat, 8 Juni 2018, Fitri merilis buku antologi puisi barunya berjudul “Kau Berhasil Jadi Peluru” di Jogja Village, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Fitri menceritakan buku yang kini sudah layak dibaca untuk publik itu, merekam perjalanan hidupnya yang pernah dilalui selama ia ditinggal sang ayah.
Baca Juga: Kakek Perkosa Cucu di Aceh Terancam Dicambuk 200 Kali
Ia merasa puisi adalah satu-satunya obat trauma yang mujarab. Dengan begitu, membuatnya lebih tenang dan berkonsentrasi dalam melakukan kegiatan lainnya sepeninggal “Si Penyair Pelo”—julukan beken sang ayah.
Fitri mengakui masih sering mengingat Wiji Thukul yang hilang sejak 22 tahun silam, terhitung mulai tahun 1996-1997, menjelang reformasi tiba.
Kehilangan sosok ayah membuatnya menanggung luka dan kepedihan mendalam. Untuk mengobati rasa rindu, puisi adalah satu-satunya jalan.
“Ada titik saya benar-benar tak sanggup bercerita kepada siapa pun, akhirnya saya menulis. Dengan menulis sepanjang apa pun, saya menemukan titik di mana marah sudah percuma, menangis itu percuma. Saya menemukan kelegaan,“ kata Fitri Nganthi Wani saat memberikan keterangan seusai peluncuran buku barunya.
Fitri menulis dalam emosi yang paling murni seperti sedih maupun marah. Setelah satu atau dua tahun lewat seusai menyelesaikan satu puisi, ia mengakui mengagumi tulisannya sendiri.
Baca Juga: Sandiaga Berharap Wisma Atlet Kemayoran Dikonversi Jadi Rusun
“Ketika menulis dalam emosi sedih marah, lalu menulis dalam setahun dua tahun kamu akan merasa mendapatkan tulisan yang bagus, akan kagum sendiri,” kata Fitri sembari membuka lembaran puisi dari bukunya.
Fitri merasa sangat bahagia dengan diluncurkannya buku keduanya. Ia ingin menjadikan karyanya sebagai luapan semangat bagi publik, untuk dapat membuat hidup lebih berarti.
“Merupakan suatu kebahagian tersendiri buat saya, akhirnya bisa membuat puisi yang saya kira tidak pernah bisa diterbitkan,” tukasnya.
Kakak dari Fajar Merah ini menjelaskan, lahirnya buku ini tidak terlepas dari sebuah film “Istirahtlah Kata-Kata,” yang mengisahkan perjalanan bapaknya saat menapaki pahitnya rezim orde baru. Dari sana, ia mendapatkan penghidupan jiwa untuk memulai menerbitkan sebuah buku.
“Kami berawal dari perbincangan sederhana, lalu timbul ide untuk melanjutkan hubungan dari ‘Istirahatlah Kata-kata’ menjadi lebih dekat. Saya cenderung bilang ini hubungan keluarga, dengan sangat bahagia buku ini terbit,” kat Fitri.
Dari 750 judul puisi yang ia serahkan, ditetapkan 50 puisi dalam satu buku. Dalam 50 puisi itu Fitri banyak mengisahkan berbagi kehidupan tentang keluargnya, dirinya, ibu dan sang Ayah,
Dalam pemilihan judul buku, ia sempat menjelaskan bahwa awalnya bukan “Kau Berhasil jadi Peluru” yang dipilihnya.
Bahkan, ia sendiri tak mau menggunakan judul itu. Alasannya, ia selalu terbayang Wiji Thukul ketika teks itu muncul dalam sebuah judul buku.
Sebab, untuk diketahui, kumpulan puisi sang ayah dulu pernah dibukukan dengan judul “Aku Ingin Jadi Peluru”.
Ia berharap judul bukunya yang dipakai adalah “ Bekas Luka Berkabar”. Namun, apa boleh buat, tim telah menilai judul tersebut adalah satu hal yang positif untuk menceritakan seluruh puisi bikinannya.
“Sebenarnya, aku ingin menghindari bayang-bayang bapak. Aku baca judulnya aku bisa baper,” tuturnya.
Ia berharap, bukunya dapat membuat orang mengerti apa yang dihadapinya sekaligus dapat memberikan semangat agar terus menulis walaupun tidak bisa menulis.
“Nek sing paling klise, bersyukurlah jika hidupku tak seperti hidupku, sak nganyel-ngayelke ibu, itu berdasarkan cinta padamu. Menulislah nek belum bisa nulis, baca terus sampai bisa nulis. Ayo nulis ben ora edan,” pungkas Fitri yang sekaligus memberikan motivasi pada dirinya sendiri.
Gunawan Maryanto, Aktor pemeran Wiji Thukul dalam film “Istirahatlah Kata-Kata” yang turut hadir dalam peluncuran buku Fitri memgakui, cukup senang.
“Puisinya menampakkan nuasan si bapak, ibu (Sipon), adiknya, dan Fitri sendiri,” terangnya.
Gunawan juga memberikan tanggapan atas judul-judul puisi Fitri yang tidak hanya mengarah pada nama sang penyair Wiji Thukul. Menurutnya muatan di dalamnya mempunyai tafsir lain.
“Kita bisa meihat itu, kita bisa mengkaitkannya, tapi tak mesti juga, jangan terjebak biografinya. Bapak, ibu, adik menjadi titik pijak dari puisi Wani,” kata Gunawan yang juga ditunjuk untuk memberikan pengantar dalam buku “Kau Berhasil Jadi Peluru,” [Somad]