Suara.com - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta aparat penegak hukum dan pemerintah yang sedang berkuasa untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kriminalisasi. Hal itu disampaikannya bertolak dari kasus dugaan percakapan mesum Rizieq Shihab dengan Firza Husein yang sudah di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
"Lesson learningnya, janganlah hukum ditempatkan sebagai alat kekuasaan untuk mengkriminalisasikan seseorang atau pihak tertentu yang tidak disukai. Itu untuk menghindarkan kesan dengan "mudah" proses hukum dihentikan tanpa alasan yang jelas," katanya kepada wartawan, Senin (18/6/2018).
Fickar mengakui bahwa penegakan hukum tidak terlepas dari kondisi politik yang terjadi. Namun, dia berharap agar SP3 yang dikeluarkan oleh penegak hukum harus memenuhi mekanisme yang ada dalam hukum acara pidana Indonesia.
"Ada tiga mekanisme diterbitkannya SP3 dalam sistem hukum acara pidana Indonesia; peristiwa yang disidik bukan peristiwa pidana, alat bukti tidak cukup atau kurang, dan haruss dihentikan demi hukum, jika tersangkanya wafat, nebis in idem, kadaluarsa penuntutannya," kata Fickar.
Meski begitu, dia tetap mempertanyakan SP3-nya kasus Rizieq, padahal pentolan FPI tersebut belum diperiksa di Polda Metro Jaya. Pasalnya, Rizieq sedang berada di Arab Saudi untuk melarikan diri.
"KUHAP kita mengenal mekanisme pemeriksaan saksi atau tersangka dengan tiga modus, yaitu memeriksa sendiri di tempat penyidik, penyidik mendatangi tempat saksi atau tersangka, atau penyidik mendelegasikan pemeriksaan kepada penyidik setempat dimana saksi atau tersangka berada termasuk mendelegasikan pada atase kepolisian jika saksi atau tersangka berada di negara lain," katanya.
Dia menduga, tidak ditemukannya orang yang mengunggah percakapan mesum tersebut menjadi alasan polisi menghentikan penyidikan kasus tersebut.
"Karena itu, jika SP3 benar sudah diterbitkan, saya yakin Penyidik di kepolisian sudah memenuhi seluruh mekanisne KUHAP. Jadi, tidak ada alasan meragukan itu," tutupnya.