Suara.com - Dalam masalah pengendalian impor-ekspor barang yang diduga hasil pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI mendorong pemegang HKI untuk melakukan perekaman atau recordial di DJBC.
Ini berlaku mulai 21 Juni 2018 nanti dan digunakan untuk meredam peredaran barang palsu atau ilegal di dalam negeri.
"Era baru pemberantasan pelanggaran HKI akan dimulai sejak 21 Juni 2018 nanti. Kita menantikan kerjasama semua pemegang HKI untuk mendaftar secara manual dan online. Ada 65 ribu merek setiap tahun yang masuk ke Ditjen HKI. Sangat bagus kalau semua melakukan recordial di aplikasi kita," kata Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara DJBC, Khoirul Hadziq pada acara sosialisasi PP 20 Tahun 2017 Dan PMK 40/PMK.04/2018 di Jakarta, Kamis (7/6/2018).
Khoirul menjelaskan, DJBC perlu mempelajari pengetahuan mengenai jenis HKI yang lain agar saat menemukan barang impor atau ekspor yang dicurigai hasil pelanggaran, mereka bisa segera melakukan pencegahan.
Baca Juga: Pemudik Mulai Padati Jalur Nagreg, Lalu Lintas Masih Ramai Lancar
"Selama ini kita tidak bisa menilai barang impor itu palsu atau tidak. Karena kita tidak miliki datanya. Maka saat pemegang HKI melakukan recordation, kami tidak akan periksa hanya mengenai hak merek dan hak cipta, mungkin juga bagaimana mengidentifikasi barang-barang tersebut atau bahkan jalur distribusinya juga akan kami tanyakan,” lanjut Khoirul.
Berkait dengan HKI, Khoirul mencatat setidaknya ada enam poin yang saat ini menjadi sorotan internasional. Pertama, mengenai perlindungan negara terhadap kesehatan masyarakat terkait dengan maraknya peredaran obat palsu. Kedua, keselamatan konsumen yang dikaitkan dengan peredaran onderdil otomotif palsu.
Ketiga, sorotan pada organisasi kejahatan seperti terorisme yang dibiayai oleh hasil kejahatan terhadap HKI, selain perdagangan narkoba. Keempat, terkait Trust Issue, dimana Indonesia diwanti-wanti untuk menjaga kepercayaan produk ekspor sehingga tidak masuk dalam daftar hitam Amerika.
Kelima, adalah menghapus reputasi Indonesia sebagai negara penampung sampah produk palsu yang berdampak buruk pada kesejahteraan. Dan terakhir atau keenam, adalah terkait inovasi anak negeri sebab barang palsu mampu mematikan kreativitas generasi muda.
Maka, jelas Khoirul, penerapan recordial ini nantinya mampu membantu perlindungan HKI di dalam negeri, sebagaimana praktek di negara maju seperti Jepang dan Amerika yang telah menerapkan hal ini.
Baca Juga: Simak 6 Film Indonesia yang Bikin Libur Lebaran Bebas Boring
"Ini sangat dianjurkan untuk pemegang HKI dalam negeri atau lokal. Bagi brand internasional, mereka harus berbadan hukum di dalam negeri, memiliki SIUP, dan karyawan. Hal ini untuk kepastian hukum dan juga kesejahteraan," jelasnya.