Suara.com - Polemik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terus bergulir. Terkini, sejumlah lembaga hukum menggugat Presiden Joko Widodo. Tidak hanya Presiden, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) serta Ketua DPR juga turut menjadi tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan tersebut digalang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat).
Presiden, Menkumham dan Ketua DPR dinilai lalai, tidak membuat terjemahan resmi mengenai KUHP. Gugatan tersebut resmi dilayangkan ke pengadilan pada hari ini, Jumat (8/6/2018).
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhamad lsnur mengatakan, di tengah kencangnya ambisi dari pemerintah dan DPR memperbaharui KUHP, tim advokasi KUHP berbahasa Indonesia resmi, menemukan fakta, bahwa selama ini KUHP tidak mempunyai terjemahan resmi.
"Itu diketahui pada KUHP yang diterjemahkan oleh beberapa ahli pidana, R. SoesiIo, Profesor Moeljatno, Profesor Andi Hamzah, BPHN dan lain-lain," kata Isnur di PN Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
Menurut dia, dengan adanya perbedaan KUHP hasil terjemahan dari para pakar hukum tersebut, konsekuensinya adaIah akan terjadi penafsiran yang berbeda antara satu pakar dengan pakar lainnya.
Dengan demikian, akan sulit rasanya masyarakat memiliki kepastian dan keselarasan hukum, khususnya penerapan hukum pidana yang bersifat sangat materil.
"Padahal sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara telah mengamanatkan kepada para tergugat bahwa setiap peraturan perundang-undangan wajib menggunakan Bahasa Indonesia," Isnur menjelaskan.
Tragisnya, kata Isnur, RUU KUHP yang tengah dibahas dan disusun oleh para tergugat tidak memiliki cantolan KUHP yang memiliki terjemahan resmi bahasa Indonesia yang dilegitimasi oleh para tergugat.
"Adanya fakta ini penggugat menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak dipatuhinya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara," kata dia.
Isnur mengatakan, tim advokasi telah memberikan peringatan hukum (somasi) secara tertulis melalui surat tertanggal 11 Maret 2018. Namun para tergugat tidak merespon.
"Kemudian tim advokasi juga mengirimkan somasi atau peringatan hukum terakhir secara tertulis melalui surat tertanggal 28 Maret 2018. Tetapi juga tidak ada respon, hingga akhirnya kami mengajukan gugatan," lanjut Isnur.
Isnur menegaskan, Presiden berkewajiban memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia dan menjalankan segala perundang-undangan yang berlaku.
Sementara para penggugat merupakan badan hukum yang kerap bersentuhan dan berhubungan langsung dengan penerapan KUHP.
"Penerapan KUHP sendiri telah terjadi di daIam fase penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan hakim di muka persidangan. Pada saat yang sama, KUHP masih belum memiliki terjemahan resmi bahasa Indonesia dari para penggugat sebagaimana diamanatkan oleh UU 24/2009," tutur Isnur.
Atas alasan itulah Para Penggugat merasa telah dirugikan karena aparat penegak hukum hingga saat
ini tidak memiliki pemahaman dan penafsiran yang seragam mengenai KUHP. Para Penggugat menilai para tergugat telah lalai dengan tidak memberikan terjemahan resmi KUHP.
Berdasarkan alasan tersebut, maka para tergugat dinilai telah terbukti melakukan suatu kelalaian yang mengakibatkan para penggugat mengalami kerugian immaterial dengan tidak adanya kepastian hukum pidana materil dari tahap penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan persidangan yang selama ini telah terjadi.
Kerugian immaterial yang paling nyata adalah kebingungan para penggugat ketika mendampingi pencari keadilan yang tengah menghadapi perkara pidana.