Menurut Soesilo, Pramoedya baru dibolehkan menulis pada tahun 1973. Saat itu, Gunter Grass—sastrawan Jerman sekaligus penerima Nobel Sastra 1999, mengirimkan mesin tik dan banyak kertas untuk Pramoedya di Pulau Buru.
“Ya, dia dapat dari kawannya, Gunter Grass, sastrawan Jerman. Tapi, semua hadiah itu dirampas, lalu Pram cuma dikasih mesin tik bekas,” tuturnya.
Pada masa pembuatan “Bumi Manusia”, baik ketika masih sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, Pramoedya banyak dibantu oleh seorang tapol lain bernama Oei Hiem Hwie.
Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu
Oei dibuang ke Pulau Buru setelah Pramoedya, yakni tahun 1970. Ketika di sana, Oei dan Pram banyak terlibat diskusi. Oei juga kerap melobi tentara agar bisa dipinjamkan mesin tik yang diberikannya kepada Pram agar bisa menulis manuskrip "Bumi Manusia".
Pramoedya dan Oei secara rapi juga memunyai tempat persembunyian bagi naskah-naskah tersebut agar tak disita. Naskah-naskah itu dibalut daun pisang dan dimasukkan ke dalam lubang seperti septiktank.
Setelah naskah Bumi Manusia selesai, Oei pula yang menjilidnya menggunakan lem terbuat dari singkong rebus hingga tanak.
Ketika Oei dibebaskan, Pramoedya sempat menitipkan satu naskah kepadanya untuk dibawa ke luar Pulau Buru. Beruntung, naskah yang disembunyikan dalam kertas semen itu lolos pemeriksaan.
Selain Oei, Pramoedya juga menitipkan naskah tetralogi kepada seorang pastor Katolik yang secara rutin datang ke Pulau Buru untuk memberikan bimbingan rohani ke tapol. Pastor itulah yang memberikan naskah “Bumi Manusia” ke Hasta Mitra, penerbit pertama tetralogi Pulau Buru.
Baca Juga: Olla Ramlan Dampingi Ayah di Saat Terakhir
Sesudah Bumi Manusia Terbit