Meski begitu, Pramoedya tergolong produktif menulis di Pulau Buru. Setidaknya, terdapat 10 risalah yang digubahnya di sana. Selain tetralogi, ia juga menulis “Arok Dedes”, “Mangir”, “Arus Balik”, “Mata Pusaran”. Keempat judul terakhir itu, dianggap sebagai tetralogi Indonesia arkais.
Selain itu ada pula "Ensiklopedi Citra Indonesia", dan satu naskah lain mengenai perlawanan rakyat era Gubernur Jenderal Daendels yang keburu hilang sebelum judulnya diingat oleh publik.
“Bumi Manusia awalnya hanya diceritakan Pramoedya kepada sesama tapol. Karena, tentara waktu itu melarang Pram menulis. Para tapol, jumlahnya hampir 12.000 orang, semuanya habis disiksa, digebuki tentara. Mereka ketakutan, nah, Pram mencoba memulihkan mereka dengan bercerita,” kata Soesilo.
Ia menuturkan, Pramoedya tak dibolehkan membawa satu dokumen pun ketika dipenjara maupun dibuang ke Pulau Buru. Tapi beruntung, sebelum peristiwa G30S, Pramoedya asyik melahap banyak buku maupun dokumen sejarah yang menjadi bahan utama penulisan "Bumi Manusia" dan lainnya.
Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu
Soesilo menceritakan, Pramoedya pernah menjadi dosen sastra di Universitas Res Publika milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki; dicap Orba sebagai ormas PKI)—kini bernama Universitas Trisakti.
Universitas Res Publika memunyai perpustakaan yang dikenal mengoleksi banyak buku serta dokumen sejarah berharga. Pram memanfaatkan perpustakaan itu untuk mempelajari sejarah guna membuat karya tulis.
“Sehabis kejadian Gestok (G30S), Pramoedya juga dituduh melakukan aksi kriminal, yakni mencuri buku. Pramoedya memang pernah meminjam banyak buku dari Universitas Res Publika. Saya ingat, dia meminjam buku sampai satu becak. Nah, karena dia keburu ditangkap tentara, jadi belum sempat mengembalikan buku-buku itu,” jelasnya.
Soesilo mengakui, daya ingat sang kakak sangat baik, sehingga Pramoedya masih bisa mengingat banyak hal yang dipelajari ketika menyusun cerita tetralogi di Pulau Buru.
Baca Juga: Olla Ramlan Dampingi Ayah di Saat Terakhir
Ketika masih dilarang menulis, selain menceritakan karyanya ke tapol lain, Pramoedya juga menuliskan secara sembunyi-sembunyi karyanya di banyak medium. Salah satunya, di kertas bungkus semen bekas membangun infrastruktur.