Pramoedya, Sendu di Balik Bumi Manusia dan Minke

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 05 Juni 2018 | 09:00 WIB
Pramoedya, Sendu di Balik Bumi Manusia dan Minke
Foto di samping jasad Pramoedya Ananta Toer yang disemayamkan di Jakarta, 30 pril 2006. [Reuters]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Insiden yang terjadi pada malam dini hari 1 Oktober 1965, menjadi arus balik kehidupan Pramoedya. Sekelompok serdadu bergerak menculik sejumlah perwira berpengaruh TNI Angkatan Darat.

Pada hari-hari selanjutnya, tentara mengklaim insiden itu adalah upaya kudeta terhadap Presiden Soekarno yang didalangi PKI beserta organisasi-organisasi massa sehaluan. Tak ayal, Pramoedya yang dianggap sebagai tokoh Lekra sekaligus kader PKI menjadi sasaran.

Seingat Soesilo, demonstran anti-Soekarno melempari rumah Pramoedya pada dua atau tiga pekan setelah peristiwa tersebut. Kala itu, Pramoedya tengah bersama adik kelimanya, yakni Koeslah Soebagyo Toer.

“Setelahnya, rumah Pram digerebek tentara. Pram cerita, waktu digerebek, bukunya dirampas dan dibakar. Koeslah juga ditangkap. Sewaktu diangkut, ada kopral yang memukul Pram memakai popor senapan, kena telinganya. Makanya dia budek,” ungkapnya.

Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu

Pramoedya sempat dipenjara di sejumlah tempat, sebelum dibuang ke Pulau Buru bersama tahanan politik lainnya.

Awalnya, mulai tanggal 13 Oktober 1965 sampai Juli 1969, Pramoedya ditahan di penjara daerah Jakarta. Sementara sejak Juli 1969 sampai 16 Agustus 1969, ia dipenjara di Pulau Nusakambangan.

Sedangkan Agustus 1969 sampai tanggal 12 tahun 1979, dibuang ke Pulau Buru. Sesudahnya, pada November sampai tanggal 21 Desember tahun yang sama, dipenjara di Magelang. Total 14  tahun ia dipenjara Orde Baru.

“Pada awal-awal masa tahanan, Pramoedya disiksa hebat oleh tentara. Selanjutnya ada yang memberitahu, mengaku saja menjadi komunis ketimbang disiksa. Nah, dari situ ia terpaksa mengaku komunis,” kata Soesilo yang juga ikut merasakan masa pemenjaraan selama 5 tahun tersebut.

Ketika dibuang ke Pulau Buru, kehidupan Pram semakin sulit. Selain diharuskan bekerja tanpa mendapat upah, Pramoedya dan tahanan politik lain hidup di bawah standar hidup layak.

Baca Juga: Olla Ramlan Dampingi Ayah di Saat Terakhir

"Aku mulai makan tikus yang terlalu banyak terdapat di sini, kecil-kecil, hidup di bawah alang-alang, juga telur kadal untuk tidak punah karena turunnya gizi, kualitas dan kuantitas makanan. Walaupun ada bantuan susu bubuk untuk seluruh unit–entah dari siapa–bantuan yang sangat berharga itu tidak boleh diharapkan akan berlangsung terus. Dan memang berhenti sampai setengah ketel yang ketiga. Maka protein hewani penghuni padang rumput harus dimanfaatkan," tulis Pramoedya dalam kesaksiannya yang dibukukan di bawah judul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI