Pramoedya, Sendu di Balik Bumi Manusia dan Minke

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 05 Juni 2018 | 09:00 WIB
Pramoedya, Sendu di Balik Bumi Manusia dan Minke
Foto di samping jasad Pramoedya Ananta Toer yang disemayamkan di Jakarta, 30 pril 2006. [Reuters]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Euforia menjalar pada banyak orang ketika seorang sutradara tengah membuat film hasil adaptasi roman “Bumi Manusia”. Polemik mengenai persoalan itu juga menyeruak, menjadi bagian dari perayaan. Namun, di balik semuanya, ada kisah sendu Pramoedya yang melatari kelahiran roman itu dan Minke.

“Bumi Manusia”, roman pertama dari tetralogi Pulau Buru Pramoedya Anantar Toer dibuka dengan kalimat berikut:

“Han, memang bukan sesuatu yang baru jalan setapak ini. Memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan.”

Han adalah nama panggilan Profesor Gertrudes Johannes Resink—seorang indo yang dikenal sebagai penyair dan eseis—teman akrab Pramoedya.

Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu

Ketika Pramoedya dijebloskan ke dalam terungku Belanda, Resink adalah orang yang berani menyelundupkan naskah novel “Perburuan” dan “Keluarga Gerilya” ke luar penjara. Kedua novel itu, ditulis Pram di dalam bui.

Tatkala Pramoedya bisa menuliskan “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”,  saat dibuang rezim Soeharto ke Pulau Buru, ia melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan naskah-naskahnya, sehingga Pram menuliskan penegasan tersebut.

Pramoedya adalah sastrawan ulung Indonesia yang unik. Sebab, ia melahirkan banyak karya-karya besar dengan cara tak sederhana, yakni ketika berada di bawah tekanan, bahkan penganiayaan penguasa.

Setidaknya, itulah pengakuan sang adik, Soesilo Toer, kepada Suara.com, ketika ditemui di rumah masa kecil Pramoedya, Jalan Pramoedya Ananta Toer, Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/5/2018).

Sebelum Ada Bumi Manusia

Baca Juga: Olla Ramlan Dampingi Ayah di Saat Terakhir

“Pram muda itu sangat dibenci bapaknya karena dianggap sangat bodoh. Dia lahir prematur, makanya fisiknya lemah. Karena lemah, dia dekat dengan ibu. Saat ibu belajar masak, dia ikut. Menjahit, dia ikut. Berkebun ikut. Sampai ke kamar mandi juga ikut. Karenanya, Pram sangat menghargai perempuan dalam karya-karyanya,” tutur Soesilo memulai pembicaraan tentang sosok sang kakak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI