“Kalau dari pihak keluarga, kali terakhir datang awal bulan Ramadan ini. Mereka berziarah ke sini,” tuturnya.
Kiprah Tirto semasa hidup, terbilang gemerlap. Aktivitas jurnalistiknya saat membangun Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908), menjadikannya sebagai sosok perintis pers Indonesia.
Ia juga yang membidani pendirian Sarikat Dagang Islam, pendahulu Sarikat Islam, organisasi pertama yang berseberangan dengan kolonial Belanda.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah orang Indonesia—suatu yang baru saat itu.
Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Namun, jejak langkahnya tersebut pernah terkubur seiring kematiannya. Seperti yang ditulis sastrawan terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Sang Pemula” (1985), saat Tirto wafat, tak banyak orang yang mengantarkannya ke pemakaman.
Menjelang kematiannya, Tirto memang dibuang, diasingkan, bahkan dimiskinkan. Saat meninggal pun, tak ada pemberitaan besar mengenai orang besar itu.
“Bagi seorang jurnalis kenamaan, yang dalam dasawarsa pertama abad 19 dan 20 banyak disebut oleh pers di Hindia maupun Belanda, memang terlalu sedikit tanggapan orang atas kematiannya,” tulis Pramoedya, hlm 5.
Sesudah kematiannya, satu dari sedikit warta mengenai Tirto terdapat dalam sepucuk surat dari Batavia (Jakarta) kepada surat kabar De Locomotief, di Semarang. Surat itu, tercantum dalam skripsi J Erkelens, “Krant in Indonesie”, Skripsi Vrije Universiteit, Amsterdam, 1971.
Baca Juga: Olla Ramlan Dampingi Ayah di Saat Terakhir
“Sebuah kuburan di Manggadua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini…. Harian-harian pribumi tiada menyinggung lagi tentangnya dan sampailah kemudian ke telinga kami, bahwa orang membisu tentangnya dikarenakan hormat yang mendalam kepadanya lantaran tahun-tahun terakhirnya yang memilukan. Karena Tirto Adhi Soerjo telah menjadi kurban kerja kerasnya sendiri, dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang.”