Suara.com - Perempuan berbaju putih itu selalu sibuk hilir mudik, menerjang bom asap, gas air mata, bahkan tak jarang peluru tajam, di sepanjang pagar yang memisahkan Jalur Gaza dan Israel. Demonstran sudah akrab dengan kehadirannya. Tapi kekinian, tak lagi ada derap langkah sang paramedis muda itu. Razan Al Najjar menjadi martir di palagan.
Satu jam lagi, siang akan luruh dan senja datang pada Jumat, 1 Juni 2018. Hari itu, menandai genap pekan ke-10 kampanye “Great March of Return”, yakni gelombang protes rakyat Palestina untuk kembali mengambilalih tanah-tanah mereka dari agresor Israel.
Demonstrasi masih bergejolak. Tentara Israel melepaskan banyak tembakan. Gas air mata, bom asap, peluru karet, dan di antaranya ada peluru tajam.
Di tengah semua itu, gadis berusia 20 tahun tersebut terus bergerak ke arah depan, dekat pagar perbatasan, membantu mengobati rakyat Palestina yang terluka. Ternyata, itu adalah hari terakhir ia berada di medan tempur sebagai paramedis.
Baca Juga: Ingin Tahu Fakta Terkini Tentang Kasus Kanker di Dunia? Baca Ini!
”Razan berada kurang dari 90 meter dari pagar perbatasan. Ia hendak memasang perban ke lelaki yang terluka terkena gas air mata,” tutur Ibrahim Al Najjar, saudara Razan yang juga berada di medan demonstrasi, seperti diberitakan The New York Times, Sabtu (2/5/2018).
Gadis berusia 20 tahun itu tangkas memapah lelaki terluka itu memasuki ambulans untuk mendapat pengobatan di pusat penampungan.
Sesaat kemudian, terdengar suara tembakan. Razan rebah bersimbah darah. Demonstran dan paramedis yang dekat dengan Razan kaget. Mereka tak tahu dari mana peluru itu dilepaskan.
“Aku bersama dua rekan lantas mengangkat tubuh Razan ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Ia akhirnya dirujuk ke RS Gaza Eropa, Khan Younis. Tapi ternyata nyawanya tak lagi tertolong,” sesal Ibrahim.
Baca Juga: Rakit Bom di Unri, Z Ajak Adik Tingkat Bom Gedung DPR
***