Cerita 2 Mahasiswi Penakluk Seven Summits, Temui Mayat di Everest

Jum'at, 01 Juni 2018 | 22:05 WIB
Cerita 2 Mahasiswi Penakluk Seven Summits, Temui Mayat di Everest
Suasana penyambutan kepulangan dua mahasiswi Indonesia, Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari, yang belum lama menyelesaikan misi Seven Summits dengan menaklukkan puncak Everest, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (1/6/2018). [Suara.com/Arief Apriadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejarah baru diukir dua mahasiswi Indonesia, Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari. Keduanya baru saja menyelesaikan tantangan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia, Everest, pada 17 Mei lalu.

Penaklukan tersebut sekaligus menggenapi usaha mahasiswi Universitas Parahyangan ini dalam menakklukan misi pendakian tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (Seven Summits), yang telah dimulai sejak 2014 silam.

Mereka pun menjadi perempuan Indonesia dan ASEAN pertama yang menyelesaikan misi Seven Summits.

Baca Juga: Dua Mahasiswi Indonesia Taklukan 7 Puncak Dunia, Ini Kata Jokowi

Butuh perjuangan dan pengorbanan yang keras bagi Deedee—sapaan akrab Fransiska—dan Hilda untuk bisa sampai ke puncak Everest.

Keduanya membutuhkan waktu hampir dua bulan, dari 29 Maret hingga 17 Mei 2018 untuk mencapai 'puncak dunia', sebelum kembali tiba dengan selamat ke Tanah Air pada, Jumat (1/6/2018).

Disela-sela petualangan mereka, terselip cerita mengerikan kala menyusuri ganasnya jalur pendakian menuju gunung berjuluk Sagarmatha—Dewi Langit dalam bahasa Nepal.

"Sebenarnya kita semua tau sih (beratnya mendaki Everest). Cuma saat mengalami langsung, rasanya berbeda," tutur Deedee, memulai cerita, saat ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat siang.

Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari di Puncak Everest. [Instagram@ina7summits]
Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari di Puncak Everest. [Instagram@ina7summits]

Sudah menjadi rahasia umum gunung Everest yang terlihat suci dan damai, bisa menjadi pembunuh paling mematikan.

Cuaca ekstrem yang kerap berubah-ubah membuat banyak pendaki tak beruntung dan harus kehilangan nyawa.

Alam punya caranya sendiri untuk mengingatkan betapa rapuhnya manusia di jagat semesta ini. Hal itu yang dirasakan Deedee kala menemukan mayat di tengah perjalanannya.

"Kita melihat satu mayat, dan itu lumayan jadi remainder juga bahwa kita harus tetap waspada. Jalan ke puncak (saat) itu baru setengah," ungkap Deedee.

Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari di Puncak Everest. [Instagram@ina7summits]
Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari di Puncak Everest. [Instagram@ina7summits]

Keduanya bertolak dari Tanah Air sejak, Kamis (29/3/2018) malam. Mahasiswi yang tergabung dalam tim tim The Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala-Unpar (WISSEMU), tiba di Kathamadu, Nepal, pada Jumat (30/3/2018).

Kedua srikandi pemberani ini lalu mengurus seluruh administrasi dan pemenuhan logistik pendakian.

Akhirnya pada 10 April 2018, Deedee dan Hilda bersama tim WISSEMU terbang menuju Lhasa, dan menyambung perjalanan ke Everest Base Camp (EBC) menggunakan kendaraan roda empat. Perjalanan itu memakan waktu hingga lima hari.

Tiba di EBC pada 18 April, Deedee dan Hilda mengatakan, harus melakukan pematangan materi hingga 26 April, sebelum melanjutkan perjalanan untuk melakukan proses aklimatisasi—penyesuaian tubuh terhadap lingkungan—hingga ketinggian 7.400 mdpl.

Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari dalam perjalanan menuju puncak Everest. [Instagram@ina7summits]
Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari dalam perjalanan menuju puncak Everest. [Instagram@ina7summits]

Setelah menunggu cuaca cerah dan mendukung, pada 11 Mei 2018 Deedee dan Hilda akhirnya memulai petualangan menuju puncak.

Perjalanan yang ditempuh selama enam hari itu menyisakan berbagai kesan dan cerita bagi keduanya.

"Dari cuaca di Summits cerah banget kan, itu kita yakin banget (bisa sampai). Dari teman-teman (yang) mendoakan, semua dan doa dari keluarga tidak berhenti, itu berasa banget menjadi energi positif bagi kita," ungkap Deedee.

"Dan itu ngefek di sana. Cuacanya juga oke banget dan kita juga masih bisa fokus, masih ada tenaga sampai akhirnya bisa kembali (pulang)," sambungnya.

Perjalanan yang mereka lalui sungguh tak mudah. Deedee dan Hilda mengakui misi menaklukkan gunung-gunung tinggi, membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang kuat.

Beruntung, mereka memiliki tim, teman-teman dan keluarga yang selalu mendorong keduanya untuk maju.

Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari dalam perjalanan menuju puncak Everest. [Instagram@ina7summits]
Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari dalam perjalanan menuju puncak Everest. [Instagram@ina7summits]

"Oke kita harus bisa, kita harus bisa. Kita sudah ada di sini, ini kesempatan yang spesial banget, kita harus terus jalan enggak boleh berhenti di sini," kata Hilda memperagakan saat dirinya merasa lelah di tengah perjalanan.

Pada akhirnya, kedua perempuan yang belum genap 25 tahun itu berhasil melewati benteng cuaca dari gunung yang dijuluki "Mother Goddes of The Universe" oleh orang-orang Tibet.

Baca Juga: MotoGP Italia: Iannone Dominasi FP2, Rossi Naik Satu Tingkat

Dari kecepatan angin yang bisa mencapai 200 meter per jam, suhu di bawah -80 derajat Fahrenheit, hingga zona kematian dimana kadar oksigen hanya sebesar 30 persen kala menapaki ketinggian 8.000 mdpl, mampu dilewati dua srikandi Indonesia ini dengan selamat.

Hilda pun berharap prestasi yang diraihnya bersama Deedee bisa diteruskan oleh pemuda-pemdudi Indonesia lainnya.

"Kalau memang punya target, kita sih inginnya ada yang lebih dari kita. Sebelumnya kita juga terus jatuh bangun dalam hal mencari sponsor sampai akhirnya kita dapat BRI dan Pasifik Raya. Jadi intinya jangan pernah menyerah, kita terus maju dan pantang mundur," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI