Suara.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak eksepsi atau nota keberatan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung. Dia merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Menyatakan keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum terdakwa Syarifuddin Arsyad Tumenggung tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan putusan sela di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (31/5/2018).
Majelis hakim menilai dakwaan jaksa penuntut umum telah memenuhi syarat formil dan syarat materil. Dakwaan sudah dibuat berdasarkan Pasal 143 ayat 2 dan 3 huruf a dan b KUHAP dan sah dijadikan sebagai dasar pemeriksaan.
Majelis pun menyatakan Pengadilan Tipikor berwenang untuk mengadili perkara Syarifuddin Arsyad Tumenggung untuk menangani perkara. Terakhir, hakim memerintahkan jaksa untuk melanjutkan pemeriksaan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut.
Baca Juga: Kasus BLBI, Pengadilan Tipikor Berhak Adili Perkara Syafruddin
Dalam pertimbangan, hakim menolak poin eksepsi penasihat hukum. Hakim berpendapat, dalil penasihat hukum bahwa pengadilan tata usaha negara yang berwenang menangani perkara Syarifuddin tidak tepat.
Hakim beralasan, pengadilan tata usaha bisa bertindak apabila belum ada proses pidana dan harus ada hasil penilaian dari intern pemerintah. Selain itu, hakim memandang perkara korupsi wajib didahulukan sesuai pasal 25 UU Tipikor.
Kemudian, hakim tidak menerima dalil dakwaan error in persona. Majelis tidak melihat ada kekeliruan dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Hakim melihat dakwaan sudah memenuhi syarat 143 ayat 2 KUHAP. Keberatan penasihat hukum pun tidak sesuai pasal 156 KUHAP. Oleh sebab itu, dalil penasihat hukum bahwa dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap tidak dipertimbangkan.
Selain itu, dalil penasihat hukum bahwa ada kesalahan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK perlu dibuktikan dalam pemeriksaan materi pokok.
"Atas pertimbangan tersebut, maka seluruh keberatan tim penasihat hukum terdakwa dan permohonannya harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata hakim Anwar.
Baca Juga: KPK Perpanjang Masa Pencegahan Enam Saksi Kasus BLBI
Putusan hakim mengamini permintaan jaksa penuntut umum. Pada persidangan Senin lalu, jaksa menolak isi eksepsi Syafruddin. Sebelumnya, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu menanggapi ada kesalahan dalam dakwaan KPK. Dakwaan dianggap salah sasaran karena Syafruddin baru menjabat sebagai Ketua BPPN pada 22 april 2002. Syafruddin dianggap tidak bisa mengubah kebijakan MSAA (Master Settlement And Acqisition Agreement) sebagai perjanjian perdata antara pemerintah dengan Sjamsul Nursalim selaku penerima dana BLBI.
Permasalahan hutang Sjamsul pun dianggap selesai berdasarkan dokumen Release and Discharge untuk Sjamsul. Dokumen tersebut telah ditandatangani antara BPPN, Menteri Keuangan RI dan Sjamsul Nursalim pada tanggal 25 Mei 1999. Menteri Keuangan telah menyatakan FINAL CLOSING atau selesai berdasarkan dokumen Release and Discharge yang telah ditandatangani antara BPPN, Menteri Keuangan RI dan Sjamsul Nursalim pada tanggal 25 Mei 1999.
Tim penasihat hukum pun tetap berdalih bahwa dakwaan tidak sesuai meskipun Syafruddin menjadi pejabat BPPN. Tim. Penasihat hukum berpendapat, Syafruddin tidak pernah menjual aset selama menjadi Ketua BPPN. Ia pun dianggap hanya menjalankan perintah KKSK dengan melakukan penagihan kepada Sjamsul Nursalim dengan meminta komitmen Sjamsul Nursalim untuk menandatangani Perjanjian tanggal 29 November 2002.
Dengan fakta bahwa Sjamsul Nursalim menandatangani Perjanjian tanggal 29 November 2002 itu sebagai bukti komitmen yang menempatkan Sjamsul Nursalim sebagai salah satu pemegang saham yang kooperatif saat itu. Hal itu diperkuat dengan Laporan Audit BPK Laporan BPK No. 34G/30 Nopember 2006 yang menyatakan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim sudah tepat karena sudah dilakukan sesuai Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 atau inpres release and discharge.
Jaksa KPK mendakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak. Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.
Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah. Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sejumlah empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Kesatu KUHP.